Sri Lanka "Sakit Parah"! Suku Bunga Naik 100 Bps Jadi Obat?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Sri Lanka (Central Bank of Sri Lanka/CBSL) mengambil langkah agresif guna meredam kenaikan inflasi. Seperti diketahui negara di pesisir tenggara India ini sedang "sakit parah", krisis menghantam dan menjadi yang terburuk sejak 1948.
Inflasi di Sri Lanka sudah tidak terkendali dalam beberapa bulan terakhir. Pada Juni, inflasi tercatat meroket 54,6% year-on-year (yoy), menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kenaikan tersebut nyaris dibandingkan Mei sebesar 39,1%.
CBSL pun mengambil langkah agresif dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin kemarin, deposit facility menjadi 14,5% dan lending facility menjadi 15,5%. Suku bunga tersebut menjadi tang tertinggi dalam lebih dari 20 tahun terakhir.
Kenaikan tersebut menyusul April lalu saat mengerek 700 basis poin. CBSL juga menyatakan akan kembali menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.
Saat inflasi sedang tinggi, suku bunga memang menjadi salah satu instrumen untuk meredamnya. Hampir semua bank sentral di dunia saat ini melakukannya.
Ketika suku bunga tinggi, maka kecenderungan masyarakat akan melakukan saving. Selain itu belanja juga bisa berkurang akibat tingginya suku bunga kredit, begitu juga dengan dunia usaha yang mengendurkan ekspansinya.
Dengan kondisi tersebut, maka inflasi dari sisi demand pull akan mereda.
Tetapi masalahnya, tingginya inflasi di Sri Lanka terjadi akibat cost push. Harga energi dan pangan yang tinggi membuat inflasi tersebut meroket.
Inflasi pangan sendiri mencapai 80% (yoy).
Sehingga, kenaikan suku bunga tidak bisa menurunkan inflasi dengan cepat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Perekonomian Sri Lanka Andalkan Pariwisata, Minta Bantuan Rusia
(pap/pap)