
Mengenal Lebih Dekat Stable Coin yang Kini Tak Lagi Stabil

Stablecoin adalah salah satu jenis aset kripto yang dirancang untuk dilindungi dari volatilitas harga yang terjadi. Volatilitas harga dinilai dapat mempersulit penggunaan aset digital untuk pembayaran atau sebagai aset penyimpan nilai.
Selama ini, stablecoin dibuat untuk mempertahankan nilai tukarnya secara konstan dengan mata uang yang ada. Misalnya melalui patokan dolar AS dengan rasio 1:1. Artinya, satu Stablecoin harganya setara dengan 1 dolar AS.
Pada awalnya, stablecoin cenderung kurang dilirik karena potensi return yang dihasilkan cenderung kecil, dilihat dari harganya yang memang lebih stabil.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, popularitasnya pun melonjak. Apalagi setelah adanya pandemi virus corona (Covid-19) yang membuat investor semakin melek dengan aset digital.
Karena sifatnya yang 'tahan banting' dengan kondisi global, maka daya tarik stablecoin pun meningkat. Apalagi sejak kripto normal sangat volatil, para investor di kripto terpaksa memburu stablecoin.
Sementara data tentang penggunaan spesifik stablecoin sulit didapat, mereka memainkan peran penting bagi pedagang kripto.
Joseph Edwards, kepala strategi keuangan di perusahaan kripto Solrise mengatakan sejak 2018 silam, stablecoin semakin banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Kebanyakan aset yang satu ini digunakan sebagai cara untuk menghindari kontrol modal.
Namun kini, sifat stablecoin yang 'tahan banting' tersebut pun dipertaruhkan, setelah kejatuhan stablecoin buatan Terraform Labs yakni TerraUSD (UST).
Mengutip dari Zipmex, setidaknya ada tiga jenis stablecoin di pasar, yakni stablecoin yang didukung oleh mata uang fiat, stablecoin yang didukung oleh asset digital, dan stablecoin algoritma.
Untuk yang jenis pertama, contoh stablecoin-nya yakni USDT, USDC, dan BUSD. Sedangkan untuk stablecoin jenis kedua, contohnya yakni Dai (DAI). Adapun untuk contoh stablecoin jenis algoritma yakni UST, USDD, dan Ampleforth (AMPL).
Apa itu stablecoin algoritma?
Mengutip dari Zipmex, sejatinya stablecoin algoritma masih relatif baru dan belum banyak digunakan.
Pada dasarnya, jenis koin ini tidak memiliki jaminan. Koin jenis ini menggunakan algoritma yang berbasis blockchain untuk memastikan koin akan selalu diperdagangkan dengan harga satu dolar AS.
Khusus di stablecoin ekosistem Terra, maka jaminan atau aset cadangannya adalah token saudaranya yakni Terra Luna (LUNA), yang dianggap sebagai kripto altcoin.
Di lain sisi, Terra memiliki ambisi sebagai platform yang menciptakan stablecoin yang dikaitkan dengan uang resmi yang diterbitkan oleh bank sentral. Tujuannya untuk mendukung sistem pembayaran global dengan settlement yang cepat dan terjangkau seperti Alipay di blockchain.
Terra LUNA memiliki peran yang vital untuk menstabilkan harga dari UST dan mengurang volatilitas pasar. Ketika UST turun sedikit, maka LUNA akan dijual atau dibakar (dihancurkan) untuk menstabilkan harga.
Namun belakangan, stablecoin jenis ini dinilai paling tidak aman, terutama setelah harga UST tak bisa mempertahankan pasaknya dan kemudian terjatuh. Padahal dari sifatnya, stablecoin digadang-gadang menjadi yang paling aman dibandingkan dengan kripto normal.
Hal ini pun sempat membuat Menteri Keuangan AS, Janet Yellen angkat bicara, di mana meski digadang-gadang relatif aman, tetapi stablecoin tetaplah kripto yang risikonya cenderung besar.
"Stablecoin yang dikenal sebagai TerraUSD mengalami penurunan nilainya. Saya pikir itu hanya menggambarkan ini adalah produk yang berkembang pesat dan ada risiko pada stabilitas keuangan dan kami membutuhkan kerangka kerja yang sesuai," kata Yellen dalam sidang Komite Perbankan Senat, dikutip dari Market Watch, Kamis (12/5/2022) lalu.
Dengan adanya kejatuhan UST tersebut, maka investor kini lebih selektif untuk memburu stablecoin, karena kini jenis kripto tersebut sudah mulai tidak mampu untuk mempertahankan pasaknya di US$ 1.
(chd/chd)