Peluang Amerika Resesi Capai 85%, RI Bakal Gonjang-ganjing?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 June 2022 14:40
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - "Hantu" resesi sepertinya akan kembali menggentayangi Amerika Serikat (AS) dalam waktu dekat. Inflasi tinggi yang melanda Negeri Paman Sam membuat bank sentral AS (The Fed) semakin agresif dalam menaikkan suku bunga.

Pada Kamis pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak tahun 1994.
Kenaikan suku bunga yang agresif hampir pasti akan terjadi sebab inflasi di AS terus menanjak.

"Kami menyerang inflasi dan akan melakukan semua yang bisa kami lakukan untuk membawanya kembali ke level normal, untuk kami itu di angka 2%. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk mewujudkannya," kata Presiden The Fed wilayah Atlanta, Raphael Bostic, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (17/6/2022).

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS saat ini mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) The Fed melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25% - 3,5%.

Artinya, di akhir tahun suku bunga tersebut akan lebih tinggi dari level yang dianggap netral 2,5% - 2,75%. Suku bunga netral artinya tidak memacu perekonomian, tidak juga memicu pelambatan ekonomi.

Semakin jauh suku bunga di atas netral, risiko pelambatan ekonomi hingga resesi menjadi semakin meningkat.

Apalagi, sinyal Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi sudah muncul dari inversi imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury).

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Sementara itu bank investasi JP Morgan mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.
Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia Bakal Gonjang-ganjing? 

Isu resesi Amerika Serikat sejauh ini sudah berdampak ke pasar finansial Indonesia. Ke sektor riil, dampaknya belum begitu terasa, tetapi bukan berarti tidak perlu waspada.

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun lebih dari 2%, melanjutkan penurunan 1,3% minggu sebelumnya.

Pasar obligasi dalam negeri juga ikut tertekan. Maklum saja, kenaikan suku bunga The Fed membuat yield Treasury ikut menanjak. Alhasil, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 24,6 basis poin menjadi 7,466%.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield naik artinya harga sedang turun. Saat harga turun, artinya ada aksi jual yang melanda pasar obligasi.

IHSG dan SBN yang mengalami aksi jual menjadi membuat nilai tukar rupiah juga terpukul. Jika nilai tukar rupiah terus merosot, ada risiko inflasi akan semakin terakselerasi yang bisa memukul daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian bisa melambat dan menekan pertumbuhan ekonomi.

Guna meredam kenaikan inflasi, Bank Indonesia (BI) bisa jadi akan menaikkan suku bunga lebih agresif yang bisa mengerek suku bunga kredit. Ekspansi dunia usaha juga akan melambat, lagi-lagi pertumbuhan ekonomi akan tertekan.

Sejauh ini inflasi di Indonesia masih terkendali yang membuat BI bisa mempertahankan suku bunga di rekor terendah 3,5% untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, tingginya harga komoditas juga memberikan keuntungan bagi Indonesia. Pendapatan negara melonjak, subsidi energi ditambah yang membuat harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan gas 3 kg tidak dinaikkan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjaga inflasi di dalam negeri tetap terkendali.

Selama inflasi di Indonesia masih terkendali, dampak yang dirasakan akibat kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat tidak akan terlalu besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular