
The Fed Gas Pol Kerek Suku Bunga, Resesi Dunia di Depan Mata?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) merilis notula rapat kebijakan moneter edisi Juli saat menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Dalam rilis notula yang dirilis dini hari tadi, bank sentral AS (The Fed) menegaskan tidak akan mengendurkan kenaikan suku bunga sampai inflasi melandai secara substansial.
Padahal, inflasi sudah menunjukkan pelambatan pada Juli lalu. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada bulan Juli tumbuh 8,5% (year-on-year/yoy), menurun dari bulan sebelumnya 9,1% (yoy).
Inflasi yang menjadi acuan The Fed berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) masih tumbuh 6,8% (yoy) sama dengan pertumbuhan bulan sebelumnya, tetapi berada di posisi tertinggi sejak Januari 1982. Inflasi inti PCE yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi tumbuh 4,8% (yoy).
Meski demikian, The Fed tidak memberikan panduan berapa basis poin suku bunga akan dinaikkan September nanti, dan masih melihat rilis data ekonomi sebelum mengambil keputusan.
Pasar sebelumnya melihat sikap The Fed akan sedikit mengendur setelah inflasi mulai melandai. Tetapi, nyatanya The Fed masih tetap akan agresif.
"Partisipan (Federal Open Market Committee/FOMC) sepakat hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan jika tekanan inflasi mereda. Inflasi harus direspon dengan pengetatan moneter. Partisipan berkomitmen untuk mengembalikan inflasi ke target sasaran di kisaran 2%," tulis risalah FOMC.
Pasar melihat bank sentral paling powerful di dunia ini akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 2,75% - 3%. Tetapi ada juga yang melihat kenaikan sebesar 75 basis poin.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group, probabilitas kenaikan 50 basis poin sebesar 64% sementara 75 basis poin 35%.
Suku bunga The Fed saat ini berada di kisaran 2,25% - 2,5% yang dianggap netral. Artinya tidak memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak juga memicu kontraksi. Tetapi, jika lebih tinggi dari level tersebut, maka perekonomian Amerika Serikat berisiko mengalami kontraksi, dan resesi pun semakin nyata.
Jika hanya mengacu pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), Amerika Serikat sebenarnya sudah mengalami resesi. Sebab, PDB sudah berkontraksi dua kuartal beruntun. Tetapi dengan pasar tenaga kerja yang masih sangat kuat, banyak yang mengatakan AS tidak mengalami resesi.
Ceritanya akan berbeda jika pasar tenaga kerja AS mulai melemah, dan itu bisa terjadi jika suku bunga di atas netral.
Tidak hanya The Fed, bank sentral lain juga masih tetap agresif menaikkan suku bunga. Alhasil, resesi dunia terus menghantui.
Mayoritas investor yang disurvei Bank of America meyakini dunia akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan. Survei terbaru yang dirilis pekan ini menunjukkan sebanyak 58% investor yakin dunia akan mengalami resesi, naik dari survei bulan sebelumnya 47%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Sebut Ekonomi AS Belum Resesi, Apa Alasannya?