
Peluang Amerika Resesi Capai 85%, RI Bakal Gonjang-ganjing?

Isu resesi Amerika Serikat sejauh ini sudah berdampak ke pasar finansial Indonesia. Ke sektor riil, dampaknya belum begitu terasa, tetapi bukan berarti tidak perlu waspada.
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun lebih dari 2%, melanjutkan penurunan 1,3% minggu sebelumnya.
Pasar obligasi dalam negeri juga ikut tertekan. Maklum saja, kenaikan suku bunga The Fed membuat yield Treasury ikut menanjak. Alhasil, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 24,6 basis poin menjadi 7,466%.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield naik artinya harga sedang turun. Saat harga turun, artinya ada aksi jual yang melanda pasar obligasi.
IHSG dan SBN yang mengalami aksi jual menjadi membuat nilai tukar rupiah juga terpukul. Jika nilai tukar rupiah terus merosot, ada risiko inflasi akan semakin terakselerasi yang bisa memukul daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian bisa melambat dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Guna meredam kenaikan inflasi, Bank Indonesia (BI) bisa jadi akan menaikkan suku bunga lebih agresif yang bisa mengerek suku bunga kredit. Ekspansi dunia usaha juga akan melambat, lagi-lagi pertumbuhan ekonomi akan tertekan.
Sejauh ini inflasi di Indonesia masih terkendali yang membuat BI bisa mempertahankan suku bunga di rekor terendah 3,5% untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, tingginya harga komoditas juga memberikan keuntungan bagi Indonesia. Pendapatan negara melonjak, subsidi energi ditambah yang membuat harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan gas 3 kg tidak dinaikkan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjaga inflasi di dalam negeri tetap terkendali.
Selama inflasi di Indonesia masih terkendali, dampak yang dirasakan akibat kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat tidak akan terlalu besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]