
Bisnis Pay Later Terancam 'Tsunami' Bunga Tinggi

Ketika suku bunga tinggi, maka biaya yang harus ditanggung konsumen BNPL tentu akan ikut naik. Belum lagi ada kemungkinan terjadi resesi (amit-amit), yang bisa memukul daya beli. Ini membuat prospek bisnis BNPL menjadi penuh tanda tanya.
Dibayangi oleh risiko tersebut, harga saham emiten penyedia BNPL di Wall Street turun tajam. Bahkan koreksinya lebih dalam ketimbang indeks Nasdaq Composite tempat mereka bernaung.
![]() |
"Sekarang investor lebih waspada. Sebab, ada risiko kalau sampai ada perlambatan ekonomi, atau bahkan resesi," tegas Bryan Kaane, Senior Payment Analyst di Deutsche Bank, seperti diberitakan Reuters.
Klarna, perusahaan penyedia BNPL di AS, baru-baru ini melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 700 karyawannya. Jumlah itu adalah 10% dari jumlah pekerja di sana.
Jordan McKee, Principal Research Analyst di 451 Research, menilai perusahaan BNPL tidak hanya menghadapi tantangan dari sisi penurunan konsumen akibat berkurangnya daya beli gara-gara inflasi tinggi. Mereka juga menghadapi masalah besar di sisi internal.
"Kebanyakan perusahaan BNPL mengandalkan pendanaan dari luar, yang kemudian dipakai untuk meminjamkannya kepada konsumen. Awalnya mereka bisa mendapatkan pendanaan dengan bunga rendah, dan membebankan bunga sedikit lebih tinggi kepada konsumen, masih ada diferensiasi.
"Namun sekarang mungkin mereka harus membayar bunga tinggi untuk pendanaan. Kalau mereka masih mempertahankan bunga rendah di tingkat konsumen, maka margin akan tertekan," papar McKee, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, bukan berarti bisnis BNPL bakal mati di tengah iklim suku bunga tinggi. Rob Galtman, Senior Director di Fitch Ratings, menilai bisnis BNPL masih bisa bertahan karena pendanaan yang diperoleh bersifat jangka panjang sementara pendapatan adalah jangka pendek. Masa kredit BNPL biasanya maksimal hanya 12 bulan sehingga tidak ada missmatch.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)[Gambas:Video CNBC]