
Ini 3 Penyebab Utama IHSG Sempat Ambruk Lebih Dari 1,5%

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harus terlempar dari level psikologis 7.100 di awal perdagangan pekan ini, Senin (6/6/2022).
IHSG sempat melemah 1,63% di level 7.065,89. Namun, pelemahan IHSG berkurang dan ditutup terkoreksi 1,2% ke level 7.096,58.
Meskipun indeks melemah, tetapi asing masih mencatatkan net buy senilai Rp 313 miliar di seluruh pasar.
Ada 3 faktor utama yang membuat IHSG mengalami pelemahan signifikan di awal perdagangan pekan ini.
Pertama adalah IHSG sudah menguat signifikan sepekan lalu. Indeks terpantau mencatatkan return 4,35%. Secara teknikal IHSG juga sudah mengalami uptrend setelah ambles di awal Mei 2022.
Indeks pun sudah menutup gap yang terbentuk saat IHSG anjlok pasca kembali dibuka setelah libur hari raya Idulfitri 1443 H.
Setelah gap yang terbentuk berhasil ditutup, biasanya harga aset akan cenderung terkonsolidasi terlebih dahulu.
Namun karena penguatan signifikan dalam waktu singkat sudah terjadi, hal ini juga membuka ruang untuk investor merealisasikan cuan (profit taking), terutama dari investor domestik.
Alasan kedua mengapa IHSG anjlok adalah anjloknya bursa saham AS. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,94%, S&P 500 terkoreksi 1,2%, dan Nasdaq Composite minus 0,98%.
Pada perdagangan akhir pekan, ketiganya melemah signifikan. DJIA, S&P 500, dan Nasdaq ambles masing-masing 1,05%, 1,63%, dan 2,47%.
Koreksi di Wall Street terjadi setelah rilis data ketenagakerjaan terbaru. Departemen Ketenagakerjaan AS mengumumkan perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 390.000 lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Mei 2022. Ini adalah pencapaian terendah sejak April 2021.
Jadi meski angka penciptaan lapangan kerja relatif rendah, tetapi tetap jauh di atas perkiraan. Artinya, pemulihan ekonomi di Negeri Adidaya masih berada di jalur yang tepat.
Oleh karena itu, pasar menilai bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tetap akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Pada akhir 2022, berdasarkan CME FedWatch, pelaku pasar memperkirakan The Fed akan mengerek Federal Funds Rate ke 2,75-3% dengan probabilitas 54,6%. Saat ini suku bunga acuan masih di 0,75-1%.
"Angka non-farm payroll cukup solid. Data ini menjadi penyokong untuk kenaikan suku bunga pada paruh kedua 2022," ujar Minh Trang, Senior Currency Trader di Silicon Valley Bank yang berbasis di California (AS), seperti diberitakan Reuters.
Saat suku bunga acuan naik, maka niscaya imbal hasil (yield) obligasi akan ikut terungkit. Pada perdagangan akhir pekan, yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun ditutup di 2,9405%, tertinggi sejak 17 Mei.
Kenaikan yield obligasi pemerintah AS dan koreksi yang tajam di bursa saham Wall Street patut diwaspadai karena dapat memicu efek banjir kiriman yang juga berdampak negatif terhadap aset keuangan domestik terutama saham.
Alasan ketiga adalah terkait arah kebijakan suku bunga acuan domestik. The Fed yang agresif menaikkan suku bunga acuan juga akan membuat BI melakukan langkah serupa, apalagi inflasi di Indonesia juga sudah meningkat.
Dengan BI yang akan mengetatkan kebijakan moneternya dan mengakhiri era suku bunga terendah dalam sejarah juga akan terefleksikan ke dalam valuasi pasar obligasi dan saham.
Ketika suku bunga acuan naik, maka beban biaya yang ditanggung emiten dalam hal borrowing cost juga meningkat dan bisa berpengaruh pada bottom line.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(vap/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tuh, Apa Dikata... IHSG Hijau di Sesi Kedua, Kan