Triple Horor yang Disebut Sri Mulyani Sudah Masuk RI?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
24 May 2022 13:01
Perubahan APBN 2022, Subsidi & Bansos Naik, Target Utang Turun
Foto: Infografis/ APBN 2022/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN Kita edisi Mei 2022 memperingatkan ancaman serius bahwa kini dunia dihadapkan kepada tiga tantangan sekaligus. Apa yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai triple challenges tersebut adalah inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang melemah. Lalu apakah ini akan menjadi ancaman nyata bagi ekonomi Tanah Air?

Ancaman-ancaman tersebut memang sudah mulai menyasar beberapa ekonomi besar yang akhirnya mati-matian berusaha menyelamatkan ekonominya. Negara-negara maju ekonomi jumbo mulai 'digigit' inflasi tinggi akibat kebijakan moneter uang murah dan pemulihan ekonomi yang relatif singkat membuat permintaan tumbuh secara cepat yang pada akhirnya membuat harga barang-barang ikut melambung.

Meski negara maju seperti AS, Jerman dan Inggris saat ini tingkat inflasinya telah berada di kisaran 7% hingga 9%, angka tersebut masih relatif lebih rendah dari beberapa negara pasar berkembang yang mana Argentina dan Turki masing-masing mencatat tingkat inflasi lebih dari 50% bulan lalu. Adapun Rusia dan Brazil meski tingkat inflasinya tidak setinggi itu, keduanya masih berada di atas 12%.

Indonesia sendiri bulan lalu mencatatkan inflasi 3,47%, salah satunya didorong oleh peningkatan permintaan selama puasa dan jelang lebaran. Meski sudah membuat investor cemas, angka tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara G-20. Dalam kelompok ekonomi besar utama dunia tersebut, hanya ada empat negara saja yang bulan lalu tingkat inflasinya lebih rendah dari Indonesia.

Inflasi tinggi pasca pandemi semakin diperparah oleh konflik di Eropa Timur, yang mana invasi Rusia ke Ukraina bertanggung jawab atas semakin meroketnya harga minyak dan gas dunia. Kedua komoditas bahan bakar tersebut ikut mengangkat harga komoditas lainnya, termasuk batu bara. Selain itu penguncian wilayah di China juga memperparah kondisi rantai pasok yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi.

Alhasil permintaan tinggi akibat pemulihan ekonomi dan kebijakan uang murah yang tidak diimbangi dengan penawaran dan suplai yang cukup membuat inflasi semakin susah dikendalikan.

Demi menjinakkan Inflasi, beberapa bank sentral di negara yang dihantui inflasi tinggi dengan cepat mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuannya.

Dengan menaikkan suku bunga, bank sentral secara tidak langsung membuat uang menjadi 'mahal' sehingga peredarannya semakin terbatas dan pada akhirnya dapat menurun permintaan sehingga harga barang-barang tidak lagi naik signifikan.

Seberapa besar dan cepat pengetatan dilakukan menjadi strategi dari masing-masing bank sentral. Akan tetapi pandangan umum pengetatan dilakukan secara bertahap dengan harapan pasar keuangan tidak terguncang seketika.

The Fed yang merupakan bank sentral paling berpengaruh dunia tahun ini telah dua kali menaikkan suku bunga acuannya, dari level terendah 0,25% selama pandemi kini berada di kisaran 0,75-1%. Sejak kenaikan pertama di bulan Maret, kebijakan ini akhirnya mampu menurunkan tingkat inflasi di AS bulan April lalu menjadi 8,3% dari semula 8,5%.

Meski sangat kecil, ini merupakan penurunan pertama sejak Agustus lalu, di mana dalam tujuh bulan beruntun tingkat inflasi di AS selalu meningkat dari bulan sebelumnya. Kenaikan kedua di bulan Mei efeknya masih ditunggu setidaknya hingga pengumuman inflasi bulan ini.

Lebih agresif dari The Fed adalah Bank sentral Inggris yang telah tiga kali menaikkan suku bunga pasca level terendah 0,1% selama pandemi dan kini telah mencapai 1%. Meski dengan upaya tersebut tingkat inflasi di Inggris April lalu tembus 9%, rekor tertinggi dalam 40 tahun.

Negara dari pasar berkembang lain yang ikut menaikkan suku bunga acuan secara agresif termasuk Brazil dan Argentina yang saat ini tingkat suku bunga masing-masing berada di level 12,75% dan 14%. Pendekatan non-konvensional yang menimbulkan tanda tanya di kalangan ekonom dan analis diambil oleh bank sentral Turki yang malah menurunkan suku bunga acuannya di tengah kondisi ekonomi inflasi tinggi.

Dari dalam negeri, suku bunga acuan Bank Indonesia masih ditahan di level terendah 3,5% dengan rapat dewan gubernur akan mengumumkan suku bunga terbaru siang ini. Ekonom, analis dan pasar secara luas mengantisipasi bahwa BI tidak akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan kali ini.

Jika dilihat dari sisi inflasi 3,47% bulan lalu, angka ini memang masih berada di kisaran target BI yakni 3±1% atau 2-4%. Artinya ekonomi RI masih belum overheat seperti di banyak negara G-20 lainnya. Selain itu, konsumsi rumah tangga RI masih belum pulih sepenuhnya. Hal ini terlihat dari adanya gap antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi. Jika sebelumnya angka pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi selalu berada pada tingkat yang relatif sama, sejak pandemi terdapat gap yang semakin lebar dengan kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi semakin besar.

Akan tetapi, jika suku bunga terus ditahan di level terendah, hal ini dapat mengancam mata uangrupiah. Tercatat, kenaikan suku bunga The Fed dua siklus terakhir mampu memukul rupiah yang belakangan semakin tak berdaya di hadapan dolar AS.

Kenaikan suku bunga memang akan mendinginkan overheating ekonomi, akan tetapi jika tidak terkendali dan tepat sasaran, kebijakan ini dapat menyebabkan stagflasi atau bahkan resesi. Hal ini karena permintaan yang dipaksa turun pada akhirnya dapat melemahkan ekonomi secara luas, dengan pertumbuhan menjadi melambat bahkan bisa saja ekonomi malah mengalami kontraksi.

Guncangan akibat kenaikan suku bunga juga menjadi momok di pasar keuangan, karena investor mulai mengukur langkah dan strategi investasi untuk mulai menjauhi aset-aset berisiko seperti kripto dan saham pertumbuhan tinggi (gowth stock) yang mengandalkan janji keuntungan besar dalam beberapa tahun ke depan.

Beberapa pekan terakhir Wall Street menyaksikan aksi jual besar-besaran dengan beberapa minggu beruntun tiga indeks utama Wall Street ditutup di zona merah. S&P 500 saat ini posisinya sudah dekat dengan bear market, sedangkan Nasdaq yang ompong karena dipenuhi saham teknologi yang kebanyakan merupakan growth stock telah berada di wilayah bear market sejak Maret lalu.

Lingkungan suku bunga tinggi membuat ekonom dan analis ramai-ramai memangkas proyeksi pertumbuhan berbagai negara, termasuk Indonesia yang proyeksi pertumbuhannya sama-sama dipangkas oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Dua ekonomi terbesar dunia juga menyaksikan pertumbuhan ekonominya ikut terpangkas. Mengutip data ekonomi yang buruk dan kondisi lockdown yang masih dilaksanakan, Goldman Sachs pekan lalu memangkas pertumbuhan ekonomi China tahun 2022 menjadi 4,0% dari semula 4,5%. Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah China yang menginginkan ekonomi tumbuh di kisaran 5,5%.

Sementara itu untuk ekonomi terbesar dunia, bank investasi berkantor pusat di New York tersebut juga memangkas pertumbuhan tahun 2022 dari semula 2,6% menjadi 2,4%.

April lalu IMF memangkas proyeksi pertumbuhan Inggris tahun 2022 dari semula 4,7% jadi 3,7%, sedangkan untuk tahun 2023 pertumbuhan nyaris terpangkas setengahnya dari 2,3% menjadi hanya 1,2%. IMF juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang tahun ini menjadi 2,4% dari semula 3,3%.

Sementara itu pemerintah Jerman menyebut konflik di Eropa Timur sebagai alasan mereka menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 dari semula 3,6% menjadi 2,2%.

Secara global IMF mengharapkan tahun 2022 ekonomi mampu tumbuh 3,6%, lebih kecil dari proyeksi awal tahun ini di angka 4,4%. Pertumbuhan ini juga melambat setelah tahun lalu ekonomi global diproyeksi tumbuh hingga 6,1%.

Meskipun secara makro, ekonomi Indonesia masih jauh lebih sehat dibandingkan mayoritas negara anggota G-20, tiga ancaman yang disebut Sri Mulyani bisa saja membuat ekonomi Nusantara melempam, karena perlambatan ekonomi global pada akhirnya tentu akan memberatkan ekonomi Tanah Air, apalagi jika mitra dagang utama Indonesia sampai jatuh ke jurang resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos BI Ramal Dunia Gelap di 2022, Tahun Depan Lebih Parah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular