Perang Ukraina Bikin Ekonomi Asia Goyang, Termasuk RI?

Tim Riset, CNBC Indonesia
Senin, 11/04/2022 17:50 WIB
Foto: Kolase foto Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy (Russian Presidential Press Service and Ukrainian Presidential Press Office via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkatan internasional, Fitch Solution, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia akan tertahan karena terdampak oleh perang yang sedang meletus di Ukraina.

Dalam Asian Monthly Outlook edisi Maret 2022, Fitch merevisi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia menjadi 4,7% setelah memperhitungkan dampak yang timbul akibat perang, dari semula diproyeksi dapat tumbuh 4,9%.

Fitch juga menyebut bahwa hal tersebut dapat terjadi karena mereka percaya bahwa negara-negara Barat akan tetap menerapkan sanksi ekonomi kepada Rusia sepanjang tahun 2022 atau bahkan dapat diperketat. Hal ini pada akhirnya turun mempengaruhi kondisi ekonomi wilayah Asia.


Penurunan yang relatif signifikan ini terjadi meski sebagian besar negara Asia tidak terekspos secara luas dalam perdagangan langsung ke Rusia dan Ukraina.

Mongolia merupakan negara dengan hubungan dagang tererat, yang mana total perdagangan dengan Rusia dan Ukraina nilainya mencapai lebih dari 10% GDP.

Sementara itu, Indonesia dan negara Asia lainnya memiliki nilai perdagangan kurang dari 2% GDP.

Meski tidak mencederai secara langsung jika dilihat dari hubungan dagang, ancaman perang di Eropa Timur datang dalam bentuk lain dan siap menekan ekonomi benua terbesar di dunia.

Manufaktur tertekan

Pertama adalah sektor manufaktur yang diperkirakan akan terpukul karena Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama barang mentah dan akan membutuhkan waktu untuk memperbaiki rantai pasok agar tidak terjadi gangguan lebih lanjut.

Rusia merupakan produsen utama paladium dengan lebih dari 40% pasokan global berasal dari negeri Beruang Merah. Tidak hanya itu beberapa komoditas lain juga bergantung ke sana termasuk Nikel (>20%), Platina (>10%) hingga minyak dan aluminium (masing-masing nyaris 10%).

Walaupun hanya Mongolia yang paling bergantung pada minyak Rusia (>80% impor), dengan negara lain nilainya kurang dari 15%, akan tetapi karena sebagian besar negara Asia sangat bergantung pada impor minyak, kenaikan harga ikut menjadi pukulan berat - dari negara mana pun minyak diperoleh.

Bersama dengan Ukraina, Rusia juga menjadi pemasok utama untuk gandum (>25%) dan jagung serta pupuk, yang masing-masing berkontribusi nyaris 20%.

Harga minyak yang tinggi pada akhirnya ikut menekan neraca transaksi berjalan bagi negara pengimpor minyak.

Kondisi paling akut dirasakan oleh Pakistan dan Sri Lanka karena keduanya sebelumnya telah mencatatkan defisit dan nilainya diperkirakan akan bertambah akibat perang yang mengerek harga minyak dunia. Defisit transaksi berjalan Indonesia juga diperkirakan akan naik karena tingginya harga minyak dunia.


(vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Cuan Perang Dagang, Produsen Kemasan Kertas RI Tembus Pasar AS

Pages