Awas! The Fed Bakal "Korbankan" Pasar Saham Demi Jaga Inflasi
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) benar-benar akan bertindak sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini guna meredam tingginya inflasi yang saat ini berada di level tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Dengan agresivitas tersebut, pasar saham bisa menjadi korbannya.
Mantan Presiden The Fed wilayah New York, Bill Dudley, mengatakan sulit mengetahui seberapa besar The Fed harus bertindak guna meredam inflasi. Tetapi satu hal yang pasti menurutnya, agar bisa efektif pasar saham dan obligasi perlu merosot lebih dalam.
"Jika pasar saham dan obligasi tidak mengalami penurunan sendiri (sepertinya itu tidak akan terjadi), The Fed perlu memberikan syok ke pasar untuk mencapai targetnya. Itu berarti kenaikan suku bunga lebih besar dari yang diantisipasi pasar, karena The Fed, bagaimana pun caranya, untuk mengendalikan inflasi... perlu mendorong yield obligasi lebih tinggi dan menekan pasar saham lebih rendah," kata Dudley, sebagaimana dilansir Market Watch, Rabu (6/4/2022).
Rilis notula rapat kebijakan moneter edisi Maret menunjukkan bagaimana agresifnya The Fed akan bertindak. Tidak hanya akan menaikkan suku bunga (federal funds rate), neraca (balance sheet) The Fed juga akan dikurangi dengan nilai yang jumbo. Dengan mengurangi nilai neraca, artinya The Fed akan melepas obligasi pemerintah dan efek beragun aset yang dimiliki, sehingga bisa menyerap likuiditas.
Sepanjang pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) The Fed sudah membeli obligasi dan efek beragun aset atau yang disebut program quantitative easing (QE) senilai US$ 4,8 triliun. Alhasil neraca The Fed saat ini nyaris mencapai US$ 9 triliun.
Sebagai gambaran seberapa agresifnya The Fed, pada pertengahan 2013 The Fed mengumumkan melakukan tapering atau pengurangan nilai QE yang sudah dilakukan sejak krisis finansial global.
Tapering pada akhirnya dimulai awal 2014 dan selesai di bulan Oktober 2014. Setelahnya suku bunga baru dinaikkan pada Desember 2015. Artinya, ada jeda lebih dari satu tahun, begitu juga dengan pengurangan nilai neraca yang mulai dilakukan mulai 2017.
Kenaikan suku bunga saat itu juga tidak terjadi secara beruntun. Kenaikan suku bunga kedua baru terjadi pada Desember 2016, selanjutnya di 2017 ada 3 kali kenaikan dan yang paling agresif 4 kali di 2018.
Bandingkan dengan saat ini, tapering dilakukan mulai November dan berakhir Maret suku bunga pun langsung dinaikkan saat itu sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%.
Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi plus mengurangi neraca mulai bulan Mei.
Masih belum agresif?
The Fed di bulan depan The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%, dan mengurangi nilai neraca sebesar US$ 95 miliar per bulan, dengan rincian obligasi (US$ 60 miliar) dan efek berangun aset (US$ 35 miliar).
Pengurangan nilai neraca tersebut nilainya dua kali lipat ketimbang yang dilakukan pada tahun 2017 - 2019.
The Fed jauh lebih agresif ketimbang sebelumnya, baik dari rentang waktu normalisasi hingga nilai pengurangan neraca dan kenaikan suku bunga. Dengan kebijakan tersebut, harapannya likuiditas akan terserap dan inflasi bisa melandai.
Di tahun 2018 ketika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali, bursa saham rontok.
Indeks S&P 500 sepanjang tahun 2018 tercatat merosot lebih dari 6%. Pada perdagangan Rabu (6/4/2022) S&P 500 juga tercatat turun nyaris 1% setelah rilis notula The Fed. Di tahun 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tercatat melemah 2,5%, bahkan sempat merosot hingga lebih dari 12%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)