Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia naik cukup tajam pada perdagangan pagi hari ini. Maklum, harga si emas hitam sebelumnya sudah anjlok lumayan dalam sehingga sudah 'murah'.
Pada Kamis (7/4/2022) pukul 07:57 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 102,2/barel. Naik 1,12% dari posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 97,31/barel. Juga naik 1,12%.
Sepertinya technical rebound memainkan peran penting dalam kenaikan harga minyak. Sebab, harga komoditas ini sedang dalam tren menurun.
Meski sekarang naik, harga brent dan light sweet masih membukukan koreksi masing-masing 2,42% dan 2,96% dalam sepekan terakhir. Selama sebulan ke belakang, harga ambles 17,25% dan 18,67%.
Oleh karena itu, harga minyak memang bisa dibilang sudah murah. Ini membuat investor kembali bernafsu memburu kontrak minyak sehingga harga menanjak.
Halaman Selanjutnya --> Fed Makin 'Ganas', Harga Minyak Terancam
Namun ke depan, risiko koreksi harga minyak masih terbuka. Ada beberapa faktor penyebabnya.
Satu, kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed bakal lebih agresif dalam menaikkan suku bunga kian membesar. Ini terlihat dari notula rapat (minutes of meeting) edisi Maret 2022.
Dalam rapat tersebut, terlihat bagaimana 'suasana kebatinan' Jerome 'Jay' Powell dan kolega. Tampak bahwa aroma pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif begitu terasa.
"Para peserta rapat menilai sudah saatnya mengubah posisi (stance) kebijakan moneter ke arah netral. Para partisipan juga menggarisbawahi bahwa perubahan ke kebijakan moneter yang lebih ketat adalah sebuah keniscayaan, tergantung perkembangan ekonomi dan pasar keuangan," tulis notula itu.
The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan bulan lalu. Pelaku pasar memperkirakan bakal ada enam kali kenaikan lagi sepanjang tahun ini, yang juga terlihat dalam dotplot terbaru The Fed.
 Sumber: FOMC |
Saat suku bunga acuan Negeri Paman Sam tinggi, maka akan ikut mendongkrak imbalan investasi aset-aset berbasis dolar AS. Hasilnya, peluang penguatan dolar AS sangat besar.
Minyak adalah aset yang dibanderol dalam dolar AS. Ketika dolar AS menguat, minyak jadi lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang lain. Permintaan minyak turun, harga pun akan mengikuti.
Halaman Selanjutnya --> Shanghai Digembok, Harga Minyak Bisa Melorot
Sentimen kedua, International Energy Agency (IEA) sepakat untuk mengeluarkan cadangan minyak untuk mengatasi kelangkaan pasokan akibat sanksi terhadap Rusia atas serangan ke Ukraina. Sebagai awalan, negara-negara anggota IEA akan melepas 2 juta barel/hari cadangan minyak selama dua bulan. Total cadangan minyak negara-negara anggota IEA mencapai 1,5 miliar barel.
Sentimen ketiga adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang mengganas di China. Pemerintahan Presiden Xi Jinping dikenal tidak memberi toleransi (zero tolerance) terhadap penyebaran virus corona. Begitu ada kluster penyebaran, langsung karantina wilayah alias lockdown.
Itulah yang sedang terjadi di Shanghai. Pusat bisnis dan keuangan Negeri Panda ini 'digembok' untuk menekan risiko penyebaran virus corona.
"Upaya pengendalian dan pencegahan penyakit di Shanghai memasuki tahap yang sangat sulit dan serius. Kita harus menerapkan kebijakan tanpa keraguan, tanpa pelonggaran," tegas Wu Qianyu, pejabat di dinas kesehatan setempat dalam jumpa pers, seperti diberitakan Reuters.
Ini baru satu kota. Kalau virus corona semakin menyebar luas, maka penerapan lockdown juga akan terjadi di wilayah-wilayah lain.
Masalahnya, China adalah salah satu konsumen minyak terbesar dunia. Bahkan China merupakan importir minyak nomor satu di kolong langit.
Menurut analsis ANZ, Shanghai menyumbang sekitar 4% dari total konsumsi minyak di Negeri Tirai Bambu. Sementara Rystad Energy memperkirakan konsumsi minyak di China bisa berkurang 200.000 barel/hari gara-gara lockdown.
TIM RISET CNBC INDONESIA