Apresiasi Rupiah Terhenti, Ini Pemicunya
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar hari ini, Rabu (6/4/2022), padahal Mata Uang Garuda berhasil menguat selama tiga hari beruntun, apa pemicunya?
Melansir Refinitiv, rupiah membuka perdagangan pasar dengan melemah tipis 0,03% ke Rp 14.350/US. Pada pukul 11:00 WIB, rupiah kembali terkoreksi lebih dalam dan berada di Rp 14.362/US$.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang lainnya, naik 0,15% pada awal perdagangan menjadi 99,620, level tertinggi sejak Mei 2020. Pantas saja, jika rupiah tertekan hari ini.
Hal tersebut dipicu oleh komentar yang lebih hawkish dari pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Gubernur The Fed Lael Brainard mengatakan bahwa kombinasi kenaikan suku bunga dan pengurangan neraca yang cepat sebagai kebijakan moneter AS akan menjadi aksi yang lebih netral di akhir tahun ini, tapi pengetatan lebih lanjut mungkin akan mengikuti situasi jika diperlukan.
Dia juga memberikan tinjauan bahwa The Fed akan mengurangi neraca hingga US$ 9 triliun.
Mary Daly, Presiden The Fed San Francisco juga menyerukan hal yang sama. Padahal, Brainard dan Daly merupakan pejabat The Fed yang dikenal dengan aksi dovish atau pro dengan kebijakan moneter yang longgar.
Nada hawkish membuat bursa saham AS turun kemarin dan mengerek imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS naik ke level tertinggi karena investor mengindikasikan potensi kebijakan yang lebih agresif.
Pada Selasa (5/4), yield obligasi tenor 10 tahun naik ke level tertinggi sejak Mei 2019 dan berada di 2,562% sebelum menetap kembali ke 2,55%. Sementara itu, yield obligasi tenor 2 tahun di 2,5853%. Inversi kurva kembali terjadi, di mana obligasi jangka pendek lebih tinggi daripada jangka panjang.
Selain itu, aktivitas industri jasa AS meningkat pada Maret, didorong oleh mundurnya pembatasan pandemi, tetapi harga yang lebih tinggi untuk bahan bakar dan komoditas lainnya karena perang Rusia melawan Ukraina menciptakan ketidakpastian bagi banyak bisnis.
Kemarin, Survei Institute for Supply Management melaporkan bahwa indeks aktivitas non-manufaktur pulih ke 58,3 di Maret dari level terendah satu tahun di 56,5 pada Februari, mengakhiri tiga penurunan bulanan berturut-turut.
Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan indeks non-manufaktur akan naik menjadi 58,4. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi di sektor jasa, yang menyumbang lebih dari dua pertiga kegiatan ekonomi AS.
Semua perhatian akan ditujukan pada rilis risalah pertemuan The Fed pada Maret lalu yang akan dirilis pada Kamis (7/4) dini hari waktu Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)