
Ini Dua 'Fitnah' terhadap Saham-Saham Sektor Teknologi

Tidak heran kita terkadang mendengar pendapat mengenai "kiamat sektor teknologi" tahun ini yang akan memukul kinerja semua saham di sektor tersebut. Dua 'fitnah' yang keliru tersebut muncul karena penyimpulan gegabah dan secara bersamaan bersifat menggeneralisir.
Pertama, harus dipahami bahwa kinerja negatif di bursa saham tidak hanya dirasakan oleh mereka yang masuk di sektor teknologi, melainkan juga menimpa nyaris semua sektor. Pun jika kita bicara saham di sektor teknologi, tak semuanya tertekan. Dua poin ini sering disalahpahami.
Tengok saja bursa AS (Wall Street), yang sejauh ini merekam hanya tiga dari 11 sektor saham yang berkinerja positif, yakni sektor energi, utilitas, dan keuangan. Sepanjang 2022, indeks saham sektor energi naik 38%, indeks sektor utilitas lompat 2,3% dan sektor keuangan tumbuh 1%.
Saham energi dan utilitas melonjak akibat kenaikan harga komoditas batu bara dan minyak (akibat konflik Rusia-Ukraina). Sebagai catatan, Rusia adalah negara produsen minyak mentah terbesar ketiga dunia setelah AS dan Arab Saudi.
Di sisi lain, saham sektor perbankan menguat karena tidak terlalu terkena dampak negatif kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Funds Rate/FFR), sekalipun bank-bank raksasa telah menyampaikan prospek kinerja yang kurang menarik dalam rilis proyeksi keuangan (earnings call) belum lama ini.
Secara bersamaan delapan indeks sektoral lain di S&P 500 melemah. Pemimpinnya bukanlah saham sektor teknologi, melainkan sektor layanan komunikasi yang anjlok 11% sepanjang tahun, diikuti sektor properti (-7,9%). Sektor teknologi berada di posisi ketiga dengan koreksi 7,7%.
![]() |
Koreksi berjamaah terjadi karena investor kompak menjual saham yang kinerja fundamentalnya memang tertekan oleh pandemi seperti saham sektor manufaktur dan material. Namun demikian, koreksi saham teknologi lebih diperhatikan karena sebelumnya mereka dikenal tahan pandemi.
Ketika terjadi pembatasan sosial (lockdown) pada 2019-2020, perusahaan teknologi justru menawarkan solusi untuk tetap beraktivitas secara online, sehingga mencetak kenaikan pengguna dan kinerjanya pun bertumbuh seperti Zoom, Netflix, hingga Amazon.
Hanya saja, reli saham berbasis pertumbuhan (growth stocks) tersebut berbalik menjadi koreksi setelah suku bunga acuan naik, yang bakal mendera arus kas mereka karena karakteristik emiten teknologi di AS memang rakus menerbitkan surat utang untuk membiayai ekspansi.
Dengan demikian, koreksi bukan semata dialami saham teknologi. Bahkan, di antara mereka ada perusahaan teknologi yang baru menawarkan sahamnya ke publik dan mampu melawan 'kutukan' kinerja saham buruk tahun ini dengan tetap melaju ke zona hijau.
(ags/ags)