RI Awas! Banyak "Kompor" Agar The Fed Kerek Suku Bunga 50 Bps

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 March 2022 07:45
Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) sudah menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25% - 0,5% pada pekan lalu. Tidak hanya itu, The Fed juga mengindikasikan akan menaikkan suku bunga di setiap rapat kebijakan moneter di tahun ini.

Dalam dot plot yang dirilis di akhir tahun ini suku bunga diperkirakan akan berada di kisaran 1,75% - 2%. The Fed akan melakukan 6 kali lagi rapat kebijakan moneter di 2022, artinya akan selalu ada kenaikan sebesar 25 basis poin di setiap pertemuan.

Tetapi, kini semakin banyak pejabat elit The Fed yang menginginkan kenaikan lebih agresif lagi yakni 50 basis poin.

"Saya punya semua untuk didiskusikan saat ini. Jika kami perlu menaikkan 50 basis poin, maka kami akan melakukannya. Dengan pasar tenaga kerja yang kuat, inflasi, inflasi, dan inflasi menjadi prioritas utama The Fed," kata Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly dalam sebuah acara yang diadakan Bloomberg, sebagaimana dilansir Reuters Kamis (24/3).

Fed Daly selama ini dikenal sebagai pejabat elit The Fed yang lebih berhati-hati untuk menaikkan suku bunga. Pernyataannya yang siap menaikkan sebesar 50 basis poin menjadi indikasi kuat jika The Fed akan melakukannya di bulan Mei.

Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester juga mengatakan hal yang senada.

"Saya lebih suka melakukan front-loading. Posisi kita akan semakin baik jika kita melakukan lebih awal ketimbang di semester II-2022," kata Mester.

Mester ingin suku bunga The Fed di akhir tahun ini berada di 2,5%, artinya ia akan memilih untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin sebelum akhir kuartal II-2022.

Presiden The Fed St. Louis, James Bullard menjadi yang paling bullish. Bullard pada pekan lalu sebenarnya memilih kenaikan sebesar 50 basis poin, dan menginginkan di akhir tahun nanti suku bunga mencapai 3%.

Ketua The Fed, Jerome Powell juga menyatakan kesiapannya untuk berntindak lebih agresif.

"Kami akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas harga. Secara khusus, jika kami menyimpulkan kenaikan suku bunga lebih dari 25 basis poin tepat dilakukan, kami akan melakukannya. Dan jika kami memutuskan perlu melakukan pengetatan di luar dari kebiasaan yang normal, kami juga akan melakukannya," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (22/3/2022).

Selain itu, bank investasi Jefferies saat ini memproyeksikan suku bunga akan dinaikkan 50 basis poin pada bulan Mei dan Juni. Sebelumnya ada investasi Goldman Sachs yang memberikan proyeksi sama.

Goldman Sachs merupakan bank yang sebelumnya memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 7 di tahun ini. Prediksi tersebut jitu, dalam dot plot yang dirilis The Fed pekan lalu menunjukkan suku bunga akan dinaikkan di setiap pertemuan di tahun ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Awas Indonesia Terguncang Lagi

Kenaikan suku bunga The Fed pada pekan lalu berjalan mulus, tidak ada gejolak di pasar finansial. Tetapi, jika semakin agresif dengan menaikkan 50 basis poin, bahkan mungkin lebih dari satu kali tentunya ada risiko terjadi gejolak.

Efek ngeri dari normalisasi kebijakan The Fed bisa tergambar nyaris 1 dekade yang lalu. Taper tantrum 2013 tentunya masih membekas di benak para pelaku pasar global, bahkan di Indonesia efeknya masih bisa terlihat hingga saat ini. Nilai tukar rupiah tidak pernah lagi menyentuh level Rp 10.000/US$, bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit untuk ke atas 5%.

Pada pertengahan 2013 ketua The Fed kala itu, Ben Bernanke, mengumumkan akan melakukan tapering, yang mengejutkan pasar. Sontak yield obligasi (Treasury) AS melesat naik yang memicu capital outflow yang sangat besar dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia dan kembali ke Amerika Serikat.

Alhasil, pasar finansial Indonesia bergejolak, rupiah menjadi salah satu korbannya, yang terus melemah sejak pertengahan 2013 hingga akhir 2015.


Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.

Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, guna meredam pelemahan rupiah serta inflasi, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga dengan agresif sebesar 175 basis poin pada periode Juni 2013 hingga November 2013 menjadi 7,5%.


Alhasil, suku bunga kredit modal kerja, konsumsi hingga investasi semua mengalami kenaikan. Ekspansi dunia usaha menjadi terhambat, ditambah dengan daya beli yang melemah membuat perekonomian Indonesia terpukul.

Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (yoy). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, bisa dilihat PDB Indonesia tidak pernah jauh dari 5%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Fundamental Dalam Negeri Lebih Kuat 

Meski ada risiko gejolak, tetapi fundamental Indonesia kini jauh lebih kuat ketimbang 2013 lalu. Hal ini terlihat dari masih stabilnya nilai tukar rupiah sejauh ini. Fundamental Indonesia yang jauh lebih baik ketimbang 2013 lalu.

Ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 22 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) lainnya, yakni transaksi modal dan finansial.

Di tahun ini, Bank Indonesia (BI) memprediksi transaksi berjalan akan kembali defisit, tetapi sekitar 1,1% - 1,9% dari PDB. Proyeksi tersebut lebih rendah dari rata-rata defisit pada periode 2012 - 2020 sebesar 2,3% dari PDB.

Namun, jika neraca dagang terus mencatat surplus bukan tidak mungkinan surplus transkasi berjalan bisa dipertahankan.

BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar. Per akhir Februari, Indonesia memiliki cadangan devisa sebesar US$ 141,4 miliar.

Artinya, BI punya lebih banyak "amunisi" untuk menstabilkan rupiah.

Selain itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing atas Surat Berharga Negara (SBN) saat ini di bawah 20%, jauh lebih rendah dari tahun 2013 yang di atas 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow, tentunya tidak akan sebesar saat taper tantrum.

Dengan demikian, nilai tukar rupiah bisa lebih stabil, begitu juga dengan indlsi inflasi di Indonesia yang sebesar 2,06% (yoy) di bulan Februari.

Inflasi yang rendah akan menjaga daya beli masyarakat yang merupakan tulang punggung perekonomian.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular