
Ekonomi Rusia Carut Marut, China Satu-satunya Harapan

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Rusia mengalami guncangan hebat setelah dikenakan sanksi berat oleh blok Barat. Kini negeri Beruang Merah semakin dekat dan kian mesra dengan satu-satunya raksasa ekonomi yang masih memberikan dukungan dalam diam.
Minggu (13/3) kemarin, pemerintah Rusia mengatakan bahwa mereka mengandalkan China untuk membantu negara tersebut menahan pukulan yang dikatakan telah membekukan hampir setengah dari cadangan emas dan mata uang asingnya.
"Kami memiliki sebagian dari cadangan emas dan valuta asing dalam mata uang China, yuan. Dan kami melihat tekanan yang diberikan oleh negara-negara Barat pada China untuk membatasi perdagangan timbal balik dengan China," kata Menteri Keuangan Anton Siluanov, dilansir Reuters.
Meski demikian, Anton Siluanov yakin bahwa "kemitraan [Rusia] dengan China masih akan memungkinkan [Rusia] untuk mempertahankan kerja sama yang telah dicapai, dan tidak hanya mempertahankan, tetapi juga meningkatkannya di lingkungan di mana pasar Barat [menutup diri]."
Setalah diisolasi oleh Barat, Rusia saat ini benar-benar membutuhkan bantuan, khususnya dari negara ekonomi raksasa seperti China, yang mampu meringankan tekanan domestik dan juga perdagangan internasional.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari atau yang menurut pihak Moskow dianggap sebagai "operasi militer khusus," kondisi ekonomi dan keuangan negara pimpinan Vladimir Putin tersebut langsung tertekan parah.
Perdagangan bursa sahamnya terpaksa harus dihentikan karena investor merespons negatif dan hingga hari ini (15/3) juga masih belum dibuka. Selanjutnya mata uangnya rubel juga jeblok, yang sejak awal tahun sempat melemah hingga 45%.
![]() Pelemahan rubel terhadap dolar AS |
Pelemahan tersebut turut memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan lebih dari dua kali lipat menjadi 20%.
Selanjutnya Moskow juga memperoleh tekanan dari investor asing dan dijadwalkan untuk melakukan pembayaran bunga senilai US$ 117 juta atau setara dengan Rp 1,68 triliun (Rp 14.350/US$) Rabu ini terhadap dua obligasi berdenominasi dolar, menurut keterangan JPMorgan dengan kontrak obligasi tidak memberikan Rusia pilihan untuk membayar dalam rubel.
Biaya perang tidak hanya ditanggung oleh Putin dan kroni dekatnya yang disanksi Berat, melainkan juga warga negara Rusia, yang sekarang tidak dapat menggunakan kartu kredit atau berbelanja di IKEA, McDonald's, Starbucks, dan tidak diizinkan untuk menukar uang yang mereka miliki ke dalam mata uang asing.
Lebih parah lagi terdapat pula ancaman resesi yang menurut bank investasi JPMorgan, ekonomi Rusia diperkirakan akan jatuh 7% tahun ini dari semula di awal tahun diproyeksikan mengalami ekspansi 3%. Jatuhnya ekonomi Rusia ke jurang resesi dapat terjadi karena kombinasi kekhawatiran akan penarikan dana besar-besaran (bank run), dampak negatif sanksi ekonomi dan lonjakan inflasi instan yang disebabkan oleh pelemahan rubel.
Meskipun tidak semua negara mengenakan sanksi ekonomi kepada Rusia, secara global mayoritas negara di dunia sepakat mengecam tindakan Rusia ke Ukraina. Awal Maret, kecaman tersebut didopsi dalam resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memperoleh dukungan 141 negara dari total 193 negara.
Rusia menentang resolusi tersebut, yang didukung oleh Belarus, Korea Utara, Eritrea dan Suriah. Meski berada di posisi minorotas, Rusia setidaknya masih bisa bergantung pada 35 negara yang memilih diam, termasuk China.
China merupakan negara dengan GDP terbesar kedua di dunia yang dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan akan melawati AS dan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Data IMF mencatat GDP China tahun 2022 mencapai US$ 18,46 triliun.
Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun IMF, Rusia tercatat sebagai negara dengan ekonomi terbesar 12, GDP tahun 2022 mencapai US$ 1,7 triliun, atau kurang dari sepersepuluh ekonomi negeri Panda.
Meski demikian cadangan devisa Rusia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Data World Bank mencatat, hingga tahun 2020 Rusia menjadi negara dengan kepemilikan cadangan terbesar kelima hanya kalah dari AS, Swiss, Jepang dan China yang memimpin di urutan pertama.
Menteri keuangan Rusia Minggu kemarin juga menyebut bahwa sanksi Barat telah membekukan sekitar US$ 300 miliar dari US$ 640 miliar aset yang dimiliki Rusia dalam cadangan emas dan valasnya.
Data bank sentral Rusia terbaru, pada Juni 2021, mengungkapkan bahwa euro berkontribusi atas 32,3% kepemilikan valas Rusia, dolar AS 16,4% turun drastis dari 45% pada 2013 sebelum aneksasi krimea, renminbi 13,1%, poundsterling 6,5%, mata uang lain 10%, dan emas 21,7%.
Berdasarkan negara pemegang cadev bank sentral Rusia, China memimpin dengan menggenggam 14,2%, terbesar dari negara lain, dengan Jepang memegang 12,3% dan Jerman 11,8%.
Partner dagang utama
China dan Rusia telah tumbuh semakin dekat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk sebagai mitra dagang, hubungan ini membawa peluang dan risiko ketika Rusia terguncang akibat sanksi baru yang keras yang dipimpin oleh Barat sebagai tanggapan atas invasinya ke Ukraina.
Total perdagangan antara China dan Rusia melonjak 35,9% tahun lalu dan mencetak rekor US$ 146,9 miliar, menurut data bea cukai China, dengan Rusia sebagai sumber utama bagai komoditas minyak, gas, batu bara, dan pertanian. Rusia juga mencatatkan surplus perdagangan dengan China.
Pasca aneksasi krimea, perdagangan bilateral kedua negara tersebut telah berkembang lebih dari 50% dan China telah menjadi tujuan ekspor terbesar Rusia.
![]() Hubungan Dagang China Rusia |
Rusia dan China juga mengincar peningkatan total perdagangan menjadi US$ 200 miliar pada tahun 2024, tetapi menurut target baru yang diumumkan bulan lalu selama kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Beijing untuk Olimpiade Musim Dingin, kedua belah pihak menginginkan perdagangan bilateral tumbuh lebih besar lagi menjadi US$ 250 miliar.
Minyak Dan Gas
Ekspor minyak dan gas Rusia ke China terus meningkat. Rusia adalah pemasok minyak terbesar kedua bagi China setelah Arab Saudi, dengan volume rata-rata 1,59 juta barel per hari tahun lalu, atau 15,5% dari total impor China.
Sekitar 40% pasokan mengalir melalui pipa sepanjang 4.070 km (2.540 mil) East Siberia Pacific Ocean (ESPO) yang dibiayai oleh pinjaman China senilai US$ 50 miliar.
Rusia juga merupakan pemasok gas No. 3 Beijing, mengekspor 16,5 miliar meter kubik gas ke China pada tahun 2021 atau memenuhi sekitar 5% dari permintaan China.
Ke depan, pasokan gas dari Rusia akan bertambah banyak. Pasokan melalui pipa Power of Siberia yang dimulai pada akhir 2019 dan akan meningkat menjadi 38 miliar meter kubik per tahun pada 2025, naik dari 10,5 miliar meter kubik pada 2021 dengan kontrak 30 tahun senilai lebih dari US$ 400 miliar.
Rusia juga sedang mengincar untuk membangun pipa gas kedua, Power of Siberia 2, dengan kapasitas 50 miliar meter kubik per tahun untuk mengalir ke China melalui Mongolia.
Selain itu, Rusia juga merupakan pemasok batu bara terbesar kedua China pada tahun 2021 di belakang Indonesia.
Pangan
Pada 2019, China mengizinkan impor kedelai dari seluruh wilayah Rusia, dan kedua negara menandatangani kesepakatan untuk memperdalam kerja sama dalam rantai pasokan kedelai, sehingga membuat lebih banyak perusahaan China beroperasi di Rusia.
Ekspor kedelai ke China mencapai 543.058 ton tahun lalu dan diperkirakan akan mencapai 3,7 juta ton pada tahun 2024.
Pada tahun 2021, China menyetujui impor daging sapi dari Rusia, sementara akhir bulan lalu, China mengizinkan impor gandum dari seluruh wilayah Rusia.
Ekspor makanan lain dari Rusia ke China termasuk ikan, minyak bunga matahari, unggas, tepung terigu dan coklat.
China juga merupakan pembeli besar kayu dari Rusia, dengan impor kayu dan produk terkait senilai US$ 4,1 miliar tahun lalu.
Di sisi lain, China menjual produk mekanik, mesin dan peralatan transportasi, ponsel, mobil, dan produk konsumen ke Rusia. Ekspor China ke Rusia mencapai US$ 67,6 miliar tahun lalu, naik 34%.
Investasi
Sanksi Barat telah memaksa Rusia untuk terus menerus menoleh ke China untuk peluang investasi dalam beberapa tahun terakhir dengan bank-bank pemerintah China telah membantu Rusia membiayai berbagai proyek dari infrastruktur hingga migas di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (belt and road initiative) China.
Rusia sejauh ini merupakan penerima pinjaman terbesar yang dibiayai oleh pemerintah China, mengamankan 107 pinjaman dan kredit ekspor senilai US$ 125 miliar dari lembaga-lembaga negara China antara tahun 2000 dan 2017, menurut data dari laboratorium penelitian College of William dan Mary's AidData.
China dan Rusia mulai menggunakan mata uang mereka sendiri untuk menyelesaikan perdagangan bilateral pada tahun 2010 dan membuka jalur pertukaran mata uang (currency swap) pertama mereka pada tahun 2014, yang nilai diperbaharui pada tahun 2020 menjadi 150 miliar yuan selama tiga tahun.
Penyelesaian menggunakan yuan menyumbang 28% dari ekspor China ke Rusia pada paruh pertama tahun 2021, melonjak dari hanya 2% pada tahun 2013, karena kedua negara berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada dolar sambil mengembangkan sistem pembayaran lintas batas masing-masing.
Mata uang China menyumbang 13,1% dari cadangan mata uang asing bank sentral Rusia pada Juni 2021, dibandingkan dengan hanya 0,1% pada Juni 2017, dengan kepemilikan dolar oleh Moskow turun menjadi 16,4% dari 46,3% pada periode yang sama.
(fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Setengah Asetnya Beku Kena Sanksi, Rusia Sebut Andalkan China
