Rusia Kena Azab, Terancam Gagal Bayar Utang Akibat Perang
Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia terancam mengalami gagal membayar (default) atas utang luar negerinya setelah sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya dikenakan Barat kepada negara Beruang Merah atas invasinya ke Ukraina.
Biaya invasi Rusia ke Ukraina akan menjadi jauh lebih jelas minggu ini, dengan default yang sebelumnya tidak terpikirkan kini terasa semakin dekat. Hal ini menyebabkan kemungkinan akan ada lebih banyak tindakan darurat dari bank sentral dan kehancuran pasar saham apabila diputuskan untuk dibuka kembali.
"Operasi khusus" Moskow di negara tetangga eks Soviet telah memutus Rusia dari rantai penting pasar keuangan global, memicu krisis ekonomi terburuknya sejak jatuhnya Uni Soviet pada 1991.
Rabu ini (16/3) bisa menandai level terendah lainnya. Pemerintah Rusia diperkirakan akan membayar US$ 117 juta atau setara dengan Rp 1,68 triliun (Rp 14.350/US$) untuk dua obligasi berdenominasi dolar. Pemerintah telah memberikan sinyal ketidaksanggupan dan mengancam akan membayar dalam rubel atau sama saja dengan default.
Secara teknis Rusia memang memiliki masa tenggang 30 hari, tetapi itu tidak berarti banyak. Jika gagal bayar terjadi, ini akan menjadi default internasional pertama sejak revolusi Bolshevik lebih dari seabad yang lalu.
Raksasa energi yang dikelola negara, Gazprom dan Rosneft telah melakukan pembayaran obligasi internasional dalam beberapa hari terakhir dan sekitar US$ 200 miliar dari cadangan devisa pemerintah yang tidak terkena sanksi memang meninggalkan sepotong harapan, meskipun peluang itu tampak suram.
Selain hiruk pikuk pembayaran utang, Rabu ini juga pasar keuangan Rusia juga dapat ramai karena alasan lain.
Dilansir Reuters, surat kabar keuangan Vedomosti Rusia melaporkan bank sentral dan beberapa sumber dari Bursa Moskow mengatakan bahwa perdagangan ekuitas dan obligasi lokal yang ditangguhkan dapat dilanjutkan pada saat itu.
Ini akan menimbulkan kekacauan setidaknya dalam jangka pendek. Perusahaan-perusahaan besar Rusia yang juga terdaftar di pasar London dan New York, sahamnya telah merosot hampir tajam ketika krisis pecah dan sekarang perdagangannya turut dihentikan.
"Ada banyak lembaga keuangan yang memegang aset Rusia dan ingin mereka lepas tetapi tidak bisa," kata ahli strategi mata uang Rabobank Jane Foley.
"Mereka tidak memiliki pilihan nyata selain bertahan yang berarti bahwa ketika mereka diizinkan untuk berdagang, penjualannya bisa sangat [besar]."
(fsd)