
Tertinggi Sejak 1982, Inflasi AS Bikin IHSG & Rupiah Tumbang!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren kenaikan inflasi di Amerika Serikat (AS) masih terus berlanjut. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, bahkan menyatakan inflasi masih akan terus menanjak dalam waktu yang cukup lama.
Alhasil, risiko The Fed (bank sentral AS) akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga semakin menguat, yang menjadi salah satu pemicu rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini, Jumat (11/3).
IHSG dalam 2 hari terakhir mampu menguat, tetapi pada perdagangan sesi I melemah 0,38% ke 6890,512, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 97 miliar di pasar reguler. Sementara rupiah mengalami pelemahan 0,25% ke Rp 14.310/US$ pada pukul 13:00 WIB, setelah sebelumnya menguat 3 hari beruntun.
Yang menarik, harga Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun justru menguat terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang turun 2,6 basis poin menjadi 6,738%.
Kemarin, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,5%.
Inflasi pada bulan lalu itu menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir, tepatnya sejak Januari 1982.
Energi dan makanan menjadi pemicu kenaikan inflasi, yang sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Perang Rusia dan Ukraina membuat harga minyak mentah, gas alam hingga batu bara terus terbang tinggi yang tentunya membuat harga energi naik tajam.
Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,4% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Agustus 1982.
"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina. Dan saya pikir itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi di semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International, Kamis (11/3)
Tingginya inflasi memang sudah diperkirakan oleh The Fed, tetapi jika berlangsung lama tentunya akan menjadi masalah, dan The Fed bisa bertindak sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
Kemungkinan tersebut diungkapkan langsung oleh ketua The Fed, Jerome Powell.
Powell mengatakan perang Rusia - Ukraina sebagai "a game changer". Bukan hanya untuk perekonomian AS, tapi juga dunia.
"Ada peristiwa yang akan datang dan kita tidak tahun apa dampaknya terhadap perekonomian AS," kata Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR, pada Rabu (2/3).
Untuk saat ini, Powell mendukung kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam rapat kebijakan moneter pekan depan. Tetapi jika inflasi terus menanjak dan bertahan lama maka The Fed dikatakan akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga.
"Kami akan berhati-hati saat mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Kamu memiliki ekspektasi inflasi akan mencapai puncaknya kemudian turun di tahun ini. Jika inflasi malah semakin tinggi atau lebih persisten, kami akan bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih agresif dengan menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada satu atau beberapa pertemuan," kata Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Percepat Tapering, Bagaimana Nasib Rupiah?