Rupiah Libas Dolar AS Lagi Saat Sentimen Memburuk, kok Bisa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mampu menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (8/3), padahal sentimen pelaku pasar sedang memburuk, terlihat dari rontoknya bursa saham global.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 14.385/US$. Apresiasi kemudian bertambah menjadi 0,17% ke Rp 14.380/US$ dan bertahan di level tersebut hingga pukul 9:17 WIB.
Tanda-tanda penguatan rupiah sebenarnya sudah terlihat sebelum pembukaan perdagangan di pasar non-deliverable forward (NDF) yang posisinya lebih kuat ketimbang beberapa saat sebelum penutupan perdagangan awal pekan kemarin.
Periode | Kurs Senin (7/3) pukul 15:03 WIB | Kurs Selasa (8/3) pukul 8:53 WIB |
1 Pekan | Rp14.408,5 | Rp14.350,1 |
1 Bulan | Rp14.441,0 | Rp14.393,2 |
2 Bulan | Rp14.468,5 | Rp14.427,0 |
3 Bulan | Rp14.502,5 | Rp14.461,0 |
6 Bulan | Rp14.599,7 | Rp14.567,0 |
9 Bulan | Rp14.731,0 | Rp14.664,0 |
1 Tahun | Rp14.846,0 | Rp14.780,8 |
2 Tahun | Rp15.342,1 | Rp15.303,5 |
Perang Rusia dan Ukraina membuat harga komoditas meroket terus meroket, sektor energi yang paling menjadi sorotan.
Harga minyak mentah jenis Brent kemarin nyaris mencapai US$ 140/barel untuk pertama kalinya dalam 13 tahun terakhir. Harga batu bara terbang tinggi ke atas US$ 400/ton yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa. Begitu juga dengan gas alam yang terus menanjak.
Kenaikan harga komoditas energi tersebut tentunya berisiko mengakselerasi inflasi di negara Barat, yang sudah tinggi dan di beberapa negara lainnya.
Tetapi pada perdagangan hari ini, harga minyak mentah dan gas alam sudah mulai menurun. Minyak mentah jenis Brent melemah 0,71% dan berada di kisaran US$ 122/barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) merosot nyaris 1$ ke US$ 118/barel. Kemudian gas alam bahkan turun lebih dari 2%.
Penurunan tersebut sedikit meredakan kecemasan pelaku pasar akan semakin tingginya harga energi, yang berisiko memicu inflasi.
Sementara itu dari dalam negeri, pelaku pasar menanti rilis data cadangan devisa. Pada awal bulan lalu, Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar, turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.
BI melaporkan penurunan cadangan devisa terjadi akibat pembayaran utang pemerintah, serta berkurangnya penempatan valas perbankan di bank sentral.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada Januari 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di Bank Indonesia antara lain sebagai antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan membaiknya aktivitas perekonomian," sebut keterangan tertulis BI.
Selain itu, larangan ekspor batu bara juga berdampak pada penurunan devisa dari ekspor. Tetapi, di bulan Februari ekspor batu bara kembali dibuka, dan harganya pun masih tinggi, sehingga berpeluang menambah devisa lagi.
Semakin tinggi cadangan devisa menunjukkan semakin besar kemampuan BI untuk menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak. Sehingga kenaikan cadangan devisa bisa memberikan sentimen positif ke rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)