Perang Pecah! Ada Aset yang 'Berguguran', Ada yang 'Terbang'

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 February 2022 17:33
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Begitu Rusia membombardir Ukraina, bursa saham Asia langsung jeblok. Bursa saham Eropa yang baru saja dibuka juga menyusul ke zona merah. 

Indeks Nikkei Jepang dan Shanghai Composite jeblok masing-masing 1,8% dan 1,7%. Kemudian Kospi Korea Selatan merosot hingga 2,6%, Hang Seng Hong Kong bahkan nyungsep 3,2%.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tak lepas dari tekanan, berakhir melemah 1,5% ke 6.912,477. Tetapi yang menarik, investor asing justru masih terus memborong saham di dalam negeri.

Investor asing hari ini tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 821 miliar di pasar reguler. Ditambah pasar nego dan tunai totalnya menjadi Rp 881 miliar. Sebelumnya net buy juga tercatat sekitar Rp 2,3 triliun dalam 3 hari di pekan ini, dan dalam 2 minggu sebelumnya Rp 10 triliun.

Aliran modal yang masuk tersebut, begitu juga di pasar obligasi, membuat kinerja rupiah cukup bagus pada hari ini. Rupiah tercatat melemah 0,31% ke Rp 14.380/US$. Sementara mata uang utama Asia lainnya, kecuali yen Jepang yang menyandang status safe haven, jeblok.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:03 WIB.

Capital inflow di pasar obligasi terlihat dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, di mana sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.

Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.

Fundamental perekonomian Indonesia yang semakin membaik bisa jadi membuat investor asing terus mengalirkan modalnya ke Indonesia. Tidak seperti negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) begitu juga negara-negara di Eropa, inflasi di Indonesia masih rendah.

Di bulan Januari, inflasi di Indonesia dilaporkan tumbuh 2,18% year-on-year (yoy), bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebesar 7,5% (yoy).

Selain itu, ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Dengan surplus tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah akan lebih terjaga yang bisa memberikan kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri. Kerugian akibat fluktuasi kurs bisa diminimalisir, begitu juga rendahnya inflasi.

Di tahun ini, transaksi berjalan memang diperkirakan akan kembali defisit, tetapi tidak akan sebesar sebelumnya.

Kemudian, pemerintah juga sudah menegaskan tidak akan lagi melakukan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang.

Sementara itu aset kripto juga ikut terpuruk. Bitcoin yang digadang-gadang sebagai emas digital ternyata ambrol hingga 8%. Ether dan XRP juga ambrol lebih dari 9%. Litecoin bahkan jeblok hingga 12%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Komoditas yang 'Terbang' Tinggi

(pap/vap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular