IHSG Menuju 7.000? Risiko Global Tinggi, Investor Wait & See

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah mencetak rekor all time high (ATH) baru pada akhir pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi terus menguat dan bersiap menuju level psikologis baru di 7.000.
Level 7.000 tersebut diyakini bisa tercapai pekan ini. Lantas apa saja sentimen pemicunya? Sebelum itu, ada baiknya review pergerakan pasar pekan lalu.
Pasar keuangan domestik menunjukkan performa cukup positif sepanjang pekan lalu. Saham dan nilai tukar rupiah menguat, sementara pasar Surat Berharga Negara (SBN) cenderung flat. Banjir dana asing ke dalam negeri membuat aset keuangan domestik ikut terkerek.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) pada periode 14-17 Februari ada aliran dana masuk asing sebesar Rp 10,81 triliun. Di pasar saham asing net buy sebesar Rp 7,82 triliun. Dengan adanya inflow tersebut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menguat, 1,13%.
Bahkan pada perdagangan Jumat (18/2/2022), IHSG naik 0,84% dan ditutup di level tertingginya sepanjang sejarah yaitu di 6.892,82.
Kemudian di pasar obligasi negara, imbal hasil (yield) SBN 10 tahun sebagai benchmark, stabil bergerak di 6,50%. Asing net buy di pasar SBN sebesar Rp 2,99 triliun.
Dengan adanya inflow yang besar tersebut, nilai tukar rupiah bergerak menguat terhadap dolar AS sepanjang minggu lalu dan ditutup di Rp 14.325/US$.
Overall, kinerja aset keuangan Tanah Air cenderung solid di minggu lalu.
Namun bagaimana arah gerak saham, rupiah dan obligasi negara pekan ini? Untuk itu investor perlu mencermati sejumlah sentimen baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari luar negeri terlebih dahulu, kinerja Wall Street kembali diterpa koreksi. Indeks Dow Jones melemah 0,68%, indeks S&P 500 ambles 0,72% sedangkan indeks Nasdaq Composite anjlok 1,23%.
Yield obligasi pemerintah AS acuan yakni UST 10 tahun melemah ke level 1,93% pada perdagangan Jumat (18/2/2022).
Selain inflasi fokus pelaku pasar kini beralih ke ketegangan antara Rusia-Ukraina-AS. Sebagai informasi, pemicu konflik ini adalah keinginan Ukraina sebagai pecahan Uni Soviet yang ingin bergabung dengan aliansi militer NATO.
Rusia yang tidak terima memilih untuk melakukan manuver berupa menggerakkan pasukan militernya ke perbatasan Ukraina.
Presiden AS Joe Biden bahkan mengatakan bahwa Russia bakal menginvasi Ukraina dalam beberapa hari ke depan meski klaim tersebut ditepis oleh Negeri Beruang Merah.
Ketegangan masih berpotensi berlanjut. Jika perkembangannya memburuk tentu saja akan berpengaruh ke pergerakan aset keuangan di pasar.
Saat ketegangan meningkat saja aset-aset safe haven seperti emas bahkan naik 2% pekan ini. Sementara aset-aset keuangan growth asset cenderung tertekan parah. Bitcoin ambles sampai 6%.
Karena Russia salah satu produsen energi dunia, ketegangan ini juga membuat harga energi seperti gas dan minyak mentah tetap berada di level yang tinggi.
Tingginya risiko geopolitik akan cenderung membuat investor mengurangi aset-aset berisiko dan beralih ke aset safe haven seperti komoditas dan obligasi negara. Setidaknya tren ini masih akan terus berlanjut sampai ketegangan benar-benar turun.
Selain risiko geopolitik, risiko pandemi juga masih akan jadi fokus pasar. Meski kasus Covid-19 akibat varian Omicron cenderung turun, tetapi WHO masih tetap memberikan wanti-wanti kalau varian Omicron juga terus bermutasi.
Ilmuwan WHO Maria Van Kerkhove mengatakan varian Omicron telah bermutasi dan memunculkan varian baru yakni BA.2 yang lebih menular dari varian sebelumnya.
Kini varian BA.2 telah merebak di Denmark dan Inggris sehingga memunculkan risiko penyebaran yang lebih luas. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan karena kasus Covid-19 masih bisa naik sewaktu-waktu.
Melihat risiko global yang masih tinggi, ada kemungkinan investor akan cenderung wait and see di pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Sederet Sentimen Market Tahun Depan Versi Bos BEI, Simak Nih
(vap/vap)