Fed Agresif, Gimana Prospek Saham-Obligasi Negara Berkembang?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
18 February 2022 16:50
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana kenaikan suku bunga secara agresif oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve (The Fed) menjadi salah satu sorotan utama investor saat ini.

Sinyal kebijakan hawkish demi mengekang inflasi Negeri Paman Sam yang meninggi tersebut terbaca dalam risalah rapat pertemuan The Fed (FOMC) pada Rabu lalu (16/2).

Pejabat The Fed sepakat bahwa "jika inflasi tidak turun seperti yang mereka harapkan, akan tepat bagi komite untuk menghapus akomodasi kebijakan lebih cepat daripada yang mereka antisipasi saat ini," kata risalah pertemuan 25-26 Januari, yang dirilis Rabu (16/2).

Menambah sinyal hawkish The Fed, Presiden Fed St.Louis James Bullard mengingatkan bahwa inflasi AS bisa menjadi masalah yang serius jika The Fed tidak cepat menaikkan suku bunganya.

Diketahui, inflasi AS saat ini menyentuh 7,5%. James Bullard pun mengharapkan adanya kenaikan suku bunga dengan persentase penuh di Juli.

Sejurus dengan itu, banyak analis dari bank investasi melihat The Fed akan bertindak lebih agresif, salah satunya dengan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Maret.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 93,8% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan. Sementara probabilitas kenaikan 25 basis poin hanya 6% saja.

Artinya, pasar melihat The Fed pasti menaikkan suku bunga bulan depan, dan kemungkinan sebesar 50 basis poin menjadi 0,5% - 0,75%.

Dampak Aksi Pengetatan The Fed ke Pasar Berkembang (EM)

Lalu, bagaimana dampak rencana kenaikan suku bunga a la The Fed tersebut bagi aset investasi di negara berkembang (emerging market/EM) secara umum, termasuk Indonesia?

Secara makro, kenaikan suku bunga dan pengetatan kebijakan The Fed dalam taraf tertentu akan mempengaruhi ekonomi negara berkembang.

Tidak hanya ekonomi secara umum, sejumlah aset investasi di pasar EM juga bisa kehilangan 'daya pikatnya'.

Namun, hal tersebut tampaknya tidak selalu demikian. Sejumlah analis dari lembaga keuangan ternama menilai, pasar EM masih berpotensi menahan serangan kenaikan suku bunga The Fed.

Seperti catatan para analis dari Charles Schwab, pemahaman bahwa pasar EM selalu menderita kala The Fed menaikkan suku bunga berkembang di era 1990-an.

Itu terjadi ketika indeks saham MSCI Emerging Market Index jatuh selama periode satu tahun setelah The Fed mulai menaikkan suku bunga pada 1994 dan kemudian pada 1997.

Akan tetapi, secara historis, jelas peneliti Charles Schwab, indeks saham EM membukukan keuntungan selama tahun pertama dari empat siklus kenaikan suku bunga The Fed lainnya "sejak mantan Ketua The Fed Alan Greenspan mengantarkan periode yang ditandai dengan kebijakan uang yang lebih transparan."

Sekarang, jelas peneliti Charles Schwab, situasinya berbeda.

"Tidak seperti penurunan yang terlihat pada 1990-an, sebagian besar mata uang EM telah stabil bahkan ketika harga pasar dalam ancaman beberapa kali kenaikan suku bunga oleh the Fed untuk tahun ini," jelas peneliti Charles Schwab dalam tulisan mereka pada 11 Februari lalu, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (18/2).

Para peneliti Charles Schwab menjelaskan, apabila menilik Indeks Mata Uang Pasar Berkembang MSCI (yang mengukur total pengembalian mata uang pasar berkembang relatif terhadap dolar AS), pergerakannya tetap relatif datar selama setahun terakhir, di mana bobot setiap mata uang sama dengan bobot negara dalam MSCI Emerging Markets Index. (Lihat grafik di bawah ini).

MSCI Emerging Market Currency IndexFoto: Charles Schwab
MSCI Emerging Market Currency Index

Meskipun ekspektasi untuk kenaikan suku bunga agresif oleh the Fed, kata Charles Schwab, banyak bank sentral EM telah menaikkan suku bunga, demi mendukung mata uang mereka tetap kuat.

"Lebih khusus lagi, cadangan mata uang asing yang cukup, kurangnya nilai tukar tetap dan neraca berjalan yang seimbang di banyak pasar negara berkembang adalah perbedaan utama dari tahun 1990-an, menurunkan kemungkinan terulangnya kinerja yang buruk selama periode kenaikan suku bunga Fed tersebut," ujarnya.

Baca di halaman selanjutnya: Saham Pasar EM Masih Menarik? >>>

Saham Pasar EM Masih Menarik?

Tidak hanya analis Charles Schwab yang punya pandangan optimistis terhadap pasar EM saat ini, analis Deutsche Bank menjelaskan, pengetatan kebijakan oleh Jerome Powell Cs bukanlah berita buruk untuk semua aset pasar EM.

Indeks saham MSCI Emerging Market, misalnya, berhasil mengalahkan indeks saham acuan AS S&P 500 sejak awal tahun ini (ytd).

Menurut data Refinitiv, MSCI Emerging Market masih bisa naik tipis 0,89%, dibandingkan dengan S&P 500 yang malah anjlok 8,68% sejak awal tahun. Tidak hanya S&P 500, indeks saham MSCI International World Price Index juga sudah ambles 7,4% secara ytd.

"Kinerja EM (saham) yang lebih baik setelah kenaikan (Fed) pertama adalah penting," kata analis Deutsche Bank kepada Reuters.

Sementara, menurut catatan Reuters, analis Morgan Stanley belum membuat rekomendasi untuk "beli EM". Namun, mereka mengatakan, "ini menunjukkan bahwa waktu untuk mendapatkan lebih banyak bullish [kenaikan] pada [pasar] EM mungkin sudah dekat."

Selain itu, beberapa raksasa fund manager dunia juga mulai beralih ke ekuitas atau saham pasar EM, sembari bertaruh bank sentral EM tidak buru-buru menaikkan suku bunga setelah pengetatan bank sentral negara utama sejak tahun lalu.

"Kami pindah ke ekuitas EM [dengan rating] overweight pada bulan November," kata Daniel Morris, kepala strategi pasar di BNP Paribas Asset di London, dikutip Bloomberg.

Daniel menambahkan, "The Fed mungkin menaikkan suku bunga tahun ini bahkan lebih dari yang diperkirakan pasar saat ini. Sebaliknya, beberapa bank sentral pasar berkembang [EM] telah memperketat kebijakan dan bahkan mungkin dapat berubah menjadi suportif dalam waktu dekat."

Senada dengan BNP Paribas, Goldman Sachs Asset Management bilang, suku bunga rendah selama dekade terakhir telah membantu mendorong pertumbuhan perusahaan dan reli saham di AS. Namun dengan suku bunga Fed sekarang akan naik, jelas Goldman Sachs, mungkin sudah waktunya untuk melakukan diversifikasi.

"Ekonomi EM mungkin siap untuk pertumbuhan yang lebih kuat pada tahun 2022, terutama pada tahap awal pembukaan kembali," tulis analis Goldman Sachs dalam laporan penelitian bulan ini.

Obligasi EM

Bagaimana dengan obligasi EM?

Namun, kepala pasar lokal, pasar berkembang dan strategi utang negara JPMorgan, Jonny Goulden menjelaskan, siklus pengetatan agresif oleh The Fed dan bank sentral top lainnya dapat kembali memberi tekanan pasar obligasi.

Ia berkaca dari kejutan "taper tantrum" 2013-2014 silam, ketika prospek tapering (pengurangan nilai pembelian aset) oleh The Fed menghantam aset pasar negara berkembang dengan keras.

"Siklus pengetatan Fed tetap menjadi fokus untuk EM, tapi sejauh ini tekanan ini anehnya terwujud dalam kredit daripada pasar lokal," kata Goulden dalam sebuah catatan, dikutip Reuters.

Sementara, Deutsche Bank mengatakan, sejak 2013, Meksiko, Polandia, Filipina, dan Hungaria adalah negara berkembang dengan korelasi tertinggi terhadap kenaikan imbal hasil obligasi Treasury AS, mengacu pada tolok ukur alias benchmark obligasi 10-tahun lokal mereka. (Lihat grafik di bawah ini).

Obligasi EM terhadap Treasury ASFoto: Reuters
Obligasi EM terhadap Treasury AS

"Selama pergerakan besar, kami menemukan bahwa semua negara (kecuali China) telah memberikan pengembalian negatif selama periode pergerakan bearish ekstrem di Treasuri AS," kata analis Deutsche, dikutip Reuters, sembari menunjukkan bahwa obligasi dari Turki, Filipina, Meksiko dan Peru mencatat kerugian terbesar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular