Jakarta, CNBC Indonesia - Selasa (15/2) lalu Rusia mengumumkan menarik pasukannya dari perbatasan Ukraina yang membuat kemungkinan terjadinya perang mereda.
Presiden Rusia, Vladimir Putin mengonfirmasi kalau Kementerian Pertahanan Rusia telah menarik tentara dan prasarana dan sarana pendukung dari perbatasan Ukraina. Hal itu disampaikan Putin dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Moskow.
Putin mengatakan, Rusia "tentu saja" tidak menginginkan perang. Menurut dia, Rusia siap mencari solusi dengan Barat.
"Kami siap untuk bekerja sama lebih jauh. Kami siap untuk masuk ke jalur negosiasi," ujar Putin seperti dilansir AFP, Rabu (16/2/2022).
Alhasil, pelaku pasar kembali masuk ke aset-aset berisiko, dan aset aman (safe haven) menjadi kurang menarik. Jika dilihat dari mata uang, dolar Australia berpeluang yang paling diuntungkan, selain juga mata uang emerging market yang menawarkan imbal hasil tinggi, seperti rupiah.
Dolar Australia merupakan risk-on currency, yang biasanya akan menguat ketika sentimen pelaku pasar membaik.
Artinya ketika perang batal, dolar Australia berpeluang menguat. Apalagi bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) mengubah sikapnya terkait suku bunga.
Gubernur RBA, Philip Lowe, sebelumnya selalu menegaskan suku bunga tidak akan naik setidaknya hingga akhir 2023, sampai inflasi mencapai target. Tetapi nyatanya inflasi justru sudah mencapai target RBA di kuartal IV-2021 lalu.
Pada Selasa (25/1) Biro Statistik Australia melaporkan inflasi di kuartal IV-2021 tumbuh 1,3% dari kuartal sebelumnya. Sehingga inflasi selama setahun penuh menjadi 3,5% di 2021.
Kemudian inflasi inti tumbuh 1% di kuartal IV-2021 dari kuartal sebelumnya. Sepanjang 2021, inflasi inti tumbuh sebesar 2,6% yang merupakan level tertinggi sejak 2014. Kenaikan inflasi inti tersebut lebih tinggi dari ekspektasi ekonomi sebesar 2,3%, dan mencapai target RBA sebesar 2% sampai 3%.
Akhirnya, dalam pengumuman kebijakan moneter di bulan Februari RBA membuka peluang kenaikan suku bunga di tahun ini, yang membuka ruang penguatan dolar Australia.
Beberapa ekonom melihat dolar Australia saat ini masih sangat undervalue melawan dolar AS. Analis dari Commonwealth Bank of Australia (CBA), Kim Mundy melihat berdasarkan kalkulasi dari indeks harga komoditas bank sentral Australia dan perbedaan suku bunga relatif di Australia dan Amerika Serikat.
"Estimasi kami fair value dolar Australia berada di kisaran US$ 0,86 (86 sen AS)," kata Mundy sebagaimana dilansir The Guardian, Jumat (4/2).
Saat ini dolar Australia berada di kisaran US$ 0,71, dengan demikian seharusnya bisa menguat sekitar 20% lagi untuk mencapai fair value. CBA sendiri memprediksi dolar Australia akan berada di kisaran US$ 0,80 (80 sen) di akhir tahun ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> AS Sebut Rusia Masih Mungkin Invasi Ukraina
Meski Rusia mengatakan sudah menarik pasukannya, tetapi Amerika Serikat tidak percaya begitu saja.
Anthony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, mengungkapkan negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu malah menggerakkan lebih banyak pasukan ke perbatasan Ukraina dan tidak ada yang ditarik mundur.
"Itulah apa yang Rusia bilang, dan inilah yang Rusia lakukan. Kami belum melihat adanya pasukan yang ditarik mundur. Kami masih melihat pasukan bergerak menuju perbatasan, bukan menjauhi perbatasan," tegas Blinken dalam wawancara dengan MSNBC.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pun bergerak. Intelijen senior membisikkan kepada Reuters bahwa NATO sedang menyiapkan unit tempur di sejumlah negara Eropa Tengah dan Tenggara seperti Rumania, Bulgaria, Hungaria, dan Slowakia.
Sang intel menyebut bahwa latihan militer Rusia semakin intensif dan hampir mencapai puncak. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi serangan pada bulan ini tetap tinggi.
"Rusia masih bisa sewaktu-waktu menyerang Ukraina. Tanpa peringatan," katanya.
Jadi, walau sekarang sedikit mereda tetapi risiko meletusnya Perang Dunia III belum sepenuhnya terhapus. Rusia masih mungkin menginvasi Ukraina kapan saja.
"Apa yang kta lihat adalah mereka (Rusia) malah menambah pasukan. Sejauh ini tidak ada de-eskalasi," tegas Jens Stoltenberg, Sekretaris Jenderal NATO, seperti diwartakan Reuters.
Seandianya situasinya kembali tereskalasi, maka mata uang safe haven yang akan diuntungkan. Saat ini ada 3 mata uang yang dianggap safe haven, yakni yen Jepang, franc Swiss dan dolar AS.
Ketiga mata uang tersebut cenderung menguat ketika terjadi gejolak geopolitik yang memberikan dampak ke sektor finansial hingga perekonomian.
Tidak hanya perang, ketika virus corona mulai menyerang dunia, yang juga berdampak pada sektor finansial dan perekonomian, mata uang safe haven ini langsung melesat. Yen misalnya melesat nyaris 10% melawan dolar AS hanya dalam tempo 20 hari pada periode akhir Februari hingga awal Maret 2020. Melawan rupiah, yen bahkan meroket hingga lebih dari 25%.
Franc juga mencatat penguatan sekitar 6% pada periode tersebut, dan 23% melawan rupiah.
Sementara dolar AS juga mencatat penguatan tajam tetapi melawan mata uang selain yen dan franc. Melawan rupiah misalnya, dolar AS pada periode awal pandemi sempat melesat hingga lebih dari 21%.
Dolar AS jika dibandingkan dengan yen, status safe haven-nya masih kalah. Sebabnya, Negeri Matahari Terbit merupakan negara kreditor terbesar di dunia selama 30 tahun beruntun hingga 2020 lalu.
Total utang yang disalurkan Jepang sebesar US$ 3,3 triliun, berdasarkan data dari Kementerian Keuangan Jepang.
Saat terjadi gejolak geopoltik yang memicu gangguan di pasar finansial hingga memicu masalah ekonomi secara global, maka para investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen menjadi menguat.
Namun, yang patut digaris bawahi, meski terjadi gejolak geopolitik seperti perang tidak serta merta mata uang safe haven ini menguat. Penguatan baru terjadi ketika perang tersebut berdampak ke pasar finansial serta perekonomian global.
Di tahun Februari hingga Maret 2014 lalu, Rusia pernah menginvasi Ukraina hingga mencaplok wilayah Krimea, tetapi saat itu pergerakan mata uang safe haven biasa-biasa saja.
Awal perang Irak 2003 juga mata uang safe haven tidak mengalami pergerakan yang signifikan. Sebab jika dilihat saat itu tidak ada gejolak yang berlebihan di pasar finansial global.
TIM RISET CNBC INDONESIA