Duit Triliunan Mengalir ke Indonesia, Rupiah Menguat 2 Pekan

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 February 2022 15:30
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini semakin menguat. Dalam kondisi tersebut dolar AS seharusnya jadi perkasa, tetapi nyatanya rupiah malah mampu mencatat penguatan dua pekan beruntun.

Melansir data Refinitiv, rupiah di pekan mampu mencatat penguatan 0,19% ke Rp 14.350/US$. Dalam lima hari perdagangan, rupiah mampu mencatat penguatan 3 hari.

Aliran modal yang deras masuk ke dalam negeri menjadi salah satu penopang penguatan rupiah.

Sepanjang bulan Januari lalu, terjadi capital outflow yang cukup besar di pasar obligasi Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menunjukkan kepemilikan asing di SBN pada 31 Januari sebesar Rp 887,28 triliun, turun dibandingkan 31 Desember 2021 sebesar Rp 891,34 triliun. Artinya, terjadi capital outflow sekitar Rp 4 triliun.

Tetapi situasi tersebut berubah, pada 10 Februari lalu kepemilikan asing tercatat sebesar Rp 893,91 triliun, artinya terjadi inflow sebesar Rp 6,6 triliun hanya dalam 10 hari saja di bulan ini.

Dengan demikian, secara year-to-date (ytd) hingga 2 Februari lalu, tercatat capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 2,27 triliun.

Di pasar saham juga terjadi hal yang sama. Sepanjang pekan ini, investor asing tercatat melakukan beli bersih (net buy) tercatat lebih dari Rp 7,6 triliun di pasar reguler, tunai dan nego.

Sementara itu Inflasi yang terus menanjak di AS membuat The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin di bulan Maret.

Departemen Tenaga Kerja AS Kamis lalu melaporkan inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tumbuh 7,5% year-on-year (yoy) di bulan Januari, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7% (yoy) juga ekspektasi Reuters sebesar 7,3% (yoy).

Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, dan kembali menguatkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini dan kemungkinan sebesar 50 basis poin di bulan Maret nanti.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 93,8% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan. Dan probabilitas kenaikan 25 basis poin hanya 6% saja.

cmeFoto: CME Group


Artinya, pasar melihat The Fed pasti menaikkan suku bunga bulan depan, dan kemungkinan sebesar 50 basis poin menjadi 0,5% - 0,75%.

Meski demikian, dolar AS tidak serta merta menguat tajam, sebab agresivitas The Fed sudah diperkirakan jauh-jauh hari.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir The Fed Januari lalu, pasar sudah menakar suku bunga akan dinaikkan hingga 125 basis poin di tahun ini. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan Reuters pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap analis mata uang.

Survei tersebut juga menunjukkan dolar AS masih akan mendominasi hingga 6 bulan ke depan, tetapi tidak akan menguat jauh dari level saat ini. Selain itu, median dari 24 analis menunjukkan agar dolar AS menguat tajam perlu ada tambahan kenaikan sebesar 62,5 basis poin.

Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

Tidak hanya pelaku pasar, Bank Indonesia (BI) juga sudah memprediksi The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini.

"Kami masih mempertahankan prediksi The Fed Tahun ini akan menaikkan 4 kali masing-masing 25 basis poin, mulai Maret kemungkinan 25 basis poin atau 50 basis poin," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur, Kamis (10/02/2022).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Lebih Dovish, Tapi Rupiah Masih Stabil

Jika The Fed akan lebih hawkish di tahun ini, BI justru sebaliknya malah lebih dovish. Gubernur Perry mengindikasikan suku bunga baru akan dinaikkan pada 2023.

"Bank Indonesia tetap akan mempertahankan suku bunga 3,5% sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental, prediksi kami akan terjadi di tahun 2023, dan untuk itu kami akan me-review kembali stand dari kebijakan moneter khususnya suku bunga di kuartal III tahun ini," kata Perry.

Perry menambahkan kebijakan yang diambil BI nantinya akan tergantung dari data inflasi, pertumbuhan ekonomi dan berbagai indikator makro, moneter dan sistem keuangan lainnya.

Pernyataan tersebut menunjukkan BI lebih dovish ketimbang sebelumnya. Sebab, di bulan Januari lalu Perry menyatakan suku bunga bisa naik di kuartal IV-2022.

Meski demikian rupiah masih stabil, meski ke depannya masih akan tertekan akibat normalisasi kebijakan The Fed.

Para spekulator sepertinya juga masih belum melirik rupiah, malah justru menambah posisi jualnya.

Hal ini terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

idr

Survei terbaru yang dirilis Kamis (10/02/2022) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,54, membaik dari dua pekan lalu 0,12. Jika dilihat dalam 5 survei terakhir para spekulator masing konsisten mengambil posisi jual meski terus mengalami naik turun.

Dari 9 mata uang Asia yang disurvei, spekulator mengambil posisi jual terhadap 9 mata uang. Hanya yuan China, dolar Taiwan dan baht Thailand yang mendapat posisi beli.

Survei ini konsisten dengan pergerakan rupiah, sehingga ke depannya rupiah masih akan tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Fundamental Rupiah Masih Kuat

Secara fundamental rupiah memang cukup bagus. Transaksi berjalan (current account) Indonesia tercatat surplus US$ 4,5 miliar di kuartal III-2021 atau 1,5% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus tersebut diperkirakan masih akan bertahan di kuartal IV-2021 meski nilainya mengecil.

Surplus transaksi berjalan menjadi modal yang kuat bagi rupiah, sebab arus devisa yang mengalir ke pos ini lebih stabil ketimbang pos transaksi modal dan finansial.

Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia kini berada di bawah 20%, berbeda jauh ketimbang 2013 yang di atas 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar.

BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar. Selasa lalu, BI melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar. Turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.

Cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Kenaikan suku bunga di AS memang akan mendorong aliran modal keluar (outflow) dari Indonesia. Hal ini bisa menyebabkan pelemahan dari nilai tukar rupiah.

"Menyempitnya selisih yield obligasi pemerintah AS dengan Indonesia akan mendorong terjadinya outflow," kata Ekonom Senior Chatib Basri dalam acara Mandiri Investment Forum beberapa hari lalu.

Namun Chatib mengatakan tidak perlu khawatir karena kondisinya berbeda dengan 2013.

"BI lebih siap, seiring dengan cadangan devisa yang besar dan juga segenap instrumen intervensi moneter yang lebih variatif. Sehingga tidak terlalu banyak kekhawatiran soal kenaikan suku bunga AS," tutur Chatib.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, Indonesia akan menjadi sasaran investor, baik yang bersifat langsung maupun lewat portfolio.

"Indonesia masih menjadi negara yang atraktif di dunia bagi investor. Bukan karena paling berhasil tapi karena negara lain punya masalah lebih berat," terangnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular