Duh Runyam! Inflasi AS Bikin Dunia Guncang, RI Kudu Waspada

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
11 February 2022 14:28
Inflasi AS Tinggi, Ancaman Bagi Ekonomi RI
Foto: CNBC Indonesia TV

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) memang tak main-main. Baik atau buruk situasi perekonomiannya dapat memberikan dampak yang besar terhadap banyak negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Kali ini adalah persoalan inflasi. Ekonomi negeri Paman Sam tersebut pulih lebih cepat pasca resesi akibat pandemi covid-19, sehingga menimbulkan lonjakan inflasi sampai 7,5% pada Januari 2022 atau tertinggi dalam 40 tahun.

Alhasil Bank Sentral AS sudah paling mungkin menaikkan suku bunga acuan. Teorinya kebijakan tersebut memang bisa meredam inflasi, tetapi jika suku bunga terlalu tinggi maka roda perekonomian bisa melambat, sebab suku bunga kredit akan meningkat, dan ekspansi bisnis perusahaan menjadi terhambat.

Maret adalah waktu yang dirasa paling tepat dalam kenaikan suku bunga acuan. Pasar berpandangan 50 basis poin adalah pilihan the Fed saat ini, yaitu menjadi 0,5% - 0,75%.

Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia mengakui runyamnya persoalan ini bagi pasar keuangan global, juga perekonomian Indonesia tentunya.

"Secara historis kenaikan suku bunga AS biasanya diikuti penurunan harga komoditas, dengan lag sekitar 3-6 bulan, karena ada korelasi terbalik (inverse)," ujarnya Jumat (11/2/2022).

Sayang sekali bagi Indonesia, ekonomi pada 2021 besar ditopang oleh kenaikan harga komoditas internasional, antara lain batu bara, minyak kelapa sawit, bauksit, tembaga dan lainnya. Bila harga komoditas menurun, dampaknya akan terasa pada ekspor hingga penerimaan negara.

Pelaku pasar, kata Putera juga menilai the Fed terlambat dalam memberikan respons. Inflasi naik terlalu tinggi, kenaikan suku bunga acuan saat ini akan menjerumuskan AS ke jurang resesi.

"Di pasar ada kekhawatiran Fed sudah terlambat (behind the curve) sehingga terpaksa menaikkan suku bunga dengan sangat cepat dan tinggi, yang bisa memicu resesi di AS," terangnya.

"Pelemahan ekonomi disana tentunya berdampak pada Indonesia, mengingat besarnya ekspor dan surplus perdagangan kita dengan AS," jelas Satria.

Bagi Indonesia, respons paling dekat dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Sebab nilai tukar rupiah akan terimbas seiring dengan bergeraknya aliran modal keluar (outflow) dari Indonesia. Sehingga BI perlu mengeluarkan amunisi untuk mentabilkan nilai tukar.

"Volatilitas di pasar keuangan ini bisa memerlukan biaya intervensi (sterilization cost) yang besar oleh Bank Indonesia di pasar mata uang dan obligasi," pungkasnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi AS 7,5% Bakal 'Guncang' Dunia, RI Kena Imbas?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular