Ternyata Banyak Agen Tak Benar Menjelaskan Produk Unit Link
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan fakta bahwa banyak agen asuransi yang memasarkan produk unit link justru tidak bisa memberikan penjelasan secara benar mengenai produk unit link. Bahkan, banyak yang menyebut unit link itu seperti produk tabungan.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan hal ini ditemukan pada 2015 ketika OJK melakukan mistery shopper terhadap beberapa asuransi dan meminta penjelasan mengenai unit link.
"Saat saya jadi Kadep (Kepala Departemen) Perlindungan Konsumen, kami melakukan mistery shopper. Mencoba menghubungi agen dan pihak asuransi, tetapi tidak semuanya bisa menjelaskan secara benar dan baik apa itu unit link. Ini 2015," kata Anto dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Selasa (8/2/2022).
Dia menjelaskan, banyak agen yang memberikan penjelasan kepada calon nasabahnya bahwa unit link itu sama dengan produk tabungan. Padahal unit link merupakan asuransi yang dihubungkan dengan investasi, sedangkan investasi tersebut sangat berbeda dengan tabungan.
"Dulu banyak agennya yang banyak dikeluhkan, menyampaikan bahwa unit link ini seperti menabung. Ini kan miskonsepsi, suatu yang salah. Padahal itu investasi dan investasi itu sangat berfluktuasi sementara konsumen melihat ini sebagai menabung uang di bank, ketika sudah menabung tidak kehilangan pokoknya kan gitu," tegasnya.
Di samping itu, juga ada kondisi lainnya yang membuat informasi dari agen ke calon nasabah juga disampaikan tidak maksimal.
Anto mencontohkan, banyak terjadi bias antara calon nasabah dengan agen yang biasanya memiliki hubungan keluarga. Karena adanya hubungan tersebut agen jadi tidak merasa wajib menjelaskan mengenai produk tersebut kepada calon nasabah, sedangkan calon nasabah juga mempercayakan produk asuransinya kepada agen.
Menurut dia, kondisi tersebut juga menggambarkan bahwa saat ini literasi keuangan di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan inklusinya. Menurut data yang disampaikan, literasi keuangan di Indonesia saat ini baru mencapai 36% sedangkan inklusinya sudah mencapai 76%.
"Artinya sebagian kita yang memiliki produk keuangan, yang menikmati jasa keuangan ini mungkin pengetahuannya terhadap produk dan jasa keuangan ini masih rendah," tutupnya.
(mon/vap)