Dolar AS Lagi Perkasa, Emas Dunia 'Babak Belur' 2% Lebih
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia pada perdagangan pekan ini terpantau ambles lebih dari 2%. Ini terjadi di tengah menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir.
Harga emas dunia pada pekan ini ambles 2,3% secara point-to-point. Pada penutupan perdagangan Jumat (28/1/2022) kemarin, harga emas dunia melemah 0,3% ke level US$ 1.791,03/troy ons.
Harga emas yang masih terkoreksi dikarenakan dolar Amerika Serikat (AS) masih kuat-kuatnya dalam beberapa hari terakhir. Apalagi, setelah dirilisnya data pertumbuhan ekonomi AS yang solid dan isyarat kenaikan suku bunga pada Maret oleh bank sentral AS juga turut membantu dolar AS semakin kuat.
Pada Kamis waktu AS, indeks dolar (DXY) ditutup di level US$ 97,16, naik 1,36% dibandingkan dengan posisi sebelumnya. Ini merupakan level tertinggi sejak Juli 2020.
Produk Domestik Bruto (PDB) yang menjadi indikator perekonomian negara AS tercatat tumbuh 6,9% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ) pada kuartal IV-2021. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang hanya tumbuh 2,3% QoQ dan jauh lebih tinggi dari perkiraan konsensus di 5,5% QoQ.
Pertumbuhan ekonomi AS tersebut didasarkan pada pembacaan awal PDB dan masih mungkin direvisi baik ke atas maupun ke bawah. Meskipun begitu, tingginya pertumbuhan ekonomi AS di atas ekspektasi pelaku pasar cukup menjadi sentimen positif untuk harga aset berisiko seperti saham.
Pertumbuhan ekonomi AS yang positif menarik investor untuk membeli dolar sehingga memudarkan kilau emas. Selain itu, ada langkah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mengakhiri era "easy money" juga turut mendorong sang greenback semakin perkasa.
The Fed akan menaikkan suku bunga di Maret. Ini guna memerangi inflasi AS yang merajalela meski diyakini harga akan mulai turun tahun ini.
"Saya akan mengatakan bahwa komite berkeinginan untuk menaikkan suku bunga dana federal pada pertemuan Maret, dengan asumsi bahwa kondisinya sesuai untuk melakukannya," kata Ketua The Fed, Jerome Powell kepada wartawan seusai rapat FOMC, Rabu (26/1/2022) waktu setempat.
Kenaikan suku bunga meningkatkan biaya peluang memegang emas yang tidak memberikan imbal hasil. Harga emas diperkirakan akan lebih rendah pada tahun 2022 dan 2023 karena bank sentral menaikkan suku bunga, mengangkat imbal hasil obligasi dan membuat emas batangan yang tidak memberikan imbal hasil menjadi kurang menarik, menurut survei Reuters.
"Setiap rebound yang tidak didukung oleh para pencari safe-haven, dengan demikian akan mengalami resistensi cepat atau lambat selama ekonomi dalam mode pemulihan," tulis analis Julius Baer, Carsten Menke dalam sebuah catatan.
Menke menambahkan bahwa dia tidak melihat minat membeli emas yang tinggi. Melainkan pembelian dilakukan secara selektif dan akan tetap terjadi selama ekonomi tidak memburuk secara tajam.
Di lain sisi, Wang Tao, Analis Teknikal Reuters, menilai harga emas dalam jangka pendek sudah menembus titik support di US$ 1.801/troy ons. Setelah koreksi, masih ada peluang harga akan naik.
"Setelah menembus titik support tersebut, uptrend akan berlanjut. Target harga saat ini berada di kisaran US$ 1.792-1.803/troy ons," sebut Wang dalam risetnya.
Jika harga emas berhasil menembus US$ 1.821/troy ons, tambah Wang, maka akan membuka ruang menuju US$ 1.831/troy ons. Saat ini harga emas sedang berada di gelombang c, yang dalam kekuatan maksimal bisa membawanya ke US$ 1.877/troy ons.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)