Indonesia-China Sepakat "Bakar" Dolar AS!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 January 2022 17:08
Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan
Foto: Parker Song/Pool via REUTERS

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) dan bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) baru saja memperbarui perjanjian swap bilateral dalam mata uang lokal (Bilateral Currency Swap Arrangement/BCSA). Dengan perjanjian tersebut penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) akan menjadi berkurang dan membuat BI bisa lebih siap menghadapi gejolak yang bisa ditimbulkan dari normalisasi kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS).

"Perjanjian BCSA tersebut memungkinkan dilakukannya pertukaran dalam mata uang lokal masing-masing negara hingga senilai CNY250 miliar atau Rp 550 triliun (ekuivalen sekitar 38,8 miliar dolar AS)" tulis BI dalam keterangan resmi yang dirilis Kamis (27/1).

Perjanjian tersebut sudah berlaku efektif sejak 21 Januari lalu.

"Perjanjian kerja sama ini dimaksudkan untuk semakin mendorong perdagangan bilateral dan investasi langsung dalam mata uang lokal masing-masing negara dalam rangka pembangunan ekonomi di kedua negara serta menunjukkan komitmen kedua bank sentral untuk menjaga stabilitas pasar keuangan," tulis BI.

Selain dengan China, BI mengatakan juga melakukan kerja sama keuangan dengan bank sentral lain di beberapa negara di kawasan.

Perjanjian kerjasama BCSA sudah dilakukan BI-PBoC sejak Maret 2009, dan telah mengalami beberapa kali amandemen dan perpanjangan masa berlaku termasuk di bulan ini, tepat sebelum The Fed menegaskan akan menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini.

The Fed dini hari tadi mengindikasi akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, dan kemungkinan besar di bulan Maret.

"Dengan inflasi jauh di atas 2% dan pasar tenaga kerja yang kuat, Komite (Federal Open Market Committee/FOMC) memperkirakan akan tetap untuk segera menaikkan rentang target suku bunga (Federal Funds Rate/FFR)," tulis pernyataan The Fed.

Sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, The Fed membabat suku bunganya hingga menjadi 0% - 0,25%. Dengan pengumuman kali ini, pasar semakin yakin FFR akan dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,5% di bulan Maret.

Tidak hanya itu, The Fed juga diperkirakan bisa menaikkan suku bunga lebih dari 3 kali di tahun ini melihat pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell yang menyebut inflasi masih berisiko meninggi.

"Risiko inflasi masih naik dalam pandangan FOMC begitu juga dengan pandangan pribadi saya. Ada risiko cukup besar inflasi yang kita alami saat ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Ada juga risiko inflasi akan semakin tinggi. Kami harus berada pada posisi di mana kebijakan moneter bisa mengatasi semua kemungkinan yang ada," kata Powell dalam konferensi pers usai pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International.

Bank investasi ternama, Goldman Sachs sudah memprediksi Jerome Powell akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan lebih banyak lagi akibat tingginya inflasi di Amerika Serikat.

Tidak hanya mengerek suku bunga, The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neraca (balance sheet) di tahun ini.

Dalam pernyataannya dini hari tadi, The Fed mengatakan pengurangan nilai neraca bisa dilakukan setelah suku bunga dinaikkan dan itu akan dilakukan "dengan cara yang dapat diprediksi".

Ketua The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya, tetapi tidak menyebutkan waktu yang spesifik. Besarnya nilai neraca tersebut yang akan mulai dikurangi oleh The Fed, artinya obligasi yang dimiliki akan dilepas sehingga menyerap kembali likuiditas. 

the fed

"Neraca secara substansial lebih besar dari seharusnya. Perlu dilakukan pengurangan secara substansial dan itu akan memerlukan waktu. Kami ingin proses tersebut dilakukan dengan teratur dan dapat diprediksi," kata Powell.

Sementara itu Goldman Sachs sebelumnya memprediksi The Fed akan mengurangi neracanya yang saat ini nyaris senilai US$ 9 triliun sebesar US$ 100 miliar per bulan. Pengurangan tersebut diperkirakan akan dimulai pada bulan Juli dan akan berlangsung selama dua hingga dua setengah tahun, yang membuat neraca The Fed nantinya senilai US$ 6.1 triliun hingga 6.6 triliun.

Agresivitas The Fed tersebut tentunya bisa berdampak pada penguatan dolar AS dan menekan rupiah. Dengan perjanjian BCSA, setidaknya kebutuhan akan dolar AS menjadi berkurang yang bisa meredakan tekanan ke rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Punya Modal Kuat Hadapi The Fed

Meski demikian, BI juga punya modal yang cukup kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan The Fed. Cadangan devisa Indonesia pada Desember 2021 tercatat sebesar US$ 144,9 miliar, yang bisa digunakan BI untuk melalukan triple intervention guna menstabilkan rupiah.

Selain itu transaksi berjalan (current account) juga tercatat surplus US$ 4,5 miliar di kuartal III-2021, dan diprediksi masih akan surplus di tiga bulan terakhir tahun lalu. Hal ini menjadi modal yang kuat bagi rupiah untuk menghadapi normalisasi kebijakan The Fed.

Pada pekan lalu BI juga mengumumkan akan menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap pada Maret, Juni dan September hingga menjadi 6,5% dari saat ini 3,5%. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.

Kenaikan GWM tiga kali pada 2022, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, diperkirakan 'menyedot' likuiditas sekitar Rp 200 triliun dari sistem perbankan. Jumlah itu diyakini masih bisa membuat perbankan punya ruang untuk 'bernapas', sebab likuiditas saat ini dikatakan masih sangat longgar.

Cheng Hoon Lim, Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF dalam konferensi pers, Rabu (26/1) mengatakan kenaikan GWM merupakan langkah awal pengetatan moneter yang dilakukan BI untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan yang akan dilakukan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed).

"Jadi kami pikir ini adalah langkah pertama menuju normalisasi sistem perbankannya untuk mengantisipasi pengetatan Fed," pungkasnya.

Menurut Chen, Indonesia berada dalam posisi yang kuat dalam menghadapi pengetatan moneter The Fed.

"Posisi eksternal Indonesia sangat kuat. Jadi ketika Fed melakukan pengetatan, kami tidak melihat aliran modal keluar yang signifikan. Karena transaksi berjalan sangat kuat," kata Chen.

Kemudian keberadaan asing di dalam negeri, seperti pasar surat berharga negara (SBN) sangat kecil. Kini hanya berkisar 20%, sedangkan sebelum pandemi covid-19 bisa mencapai di atas 30% dan lebih dari 40% di tahun 2013.

Cheng menyampaikan, kini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia mulai menormalkan kembali kebijakannya. Termasuk bagi Bank Indonesia (BI) yang kebijakannya sangat longgar dalam dua tahun terakhir.

"Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk secara bertahap menormalkan kebijakan dan secara bertahap menyesuaikan sikap moneter ketika Fed mengetatkan," ujarnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular