Harga Naik Gila-gilaan, Ini 'Raja' Pembuat Minyak Goreng

Feri Sandria, CNBC Indonesia
10 January 2022 14:50
Ilustrasi kelapa sawit. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Infografis/ Ini Dia Konglomerat RI yang Kaya Raya Dari Minyak Goreng / Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas minyak goreng terus mengalami kenaikan secara signifikan pada akhir tahun 2021 lalu hingga awal tahun 2022.

Mengutip catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), rata-rata nasional untuk harga minyak goreng di pasar tradisional hari ini (10/1/2022) tercatat Rp 20.450/kg, naik Rp 350 (1,74%) dibandingkan kemarin.

Berdasarkan data PIHPS, secara nasional harga minyak goreng curah tiga bulan atau tepatnya tanggal 11 Oktober 2021 berada di angka Rp 15,750. Sedangkan pada hari ini, harga produk turunan kelapa sawit tersebut telah menyentuh Rp 18.800/Kg, atau naik 19,37% dalam kurun satu kuartal.

Kemudian Minyak Goreng Kemasan Bermerk 1 pada tiga bulan lalu harganya Rp 16.850/Kg. Sementara hari ini menjadi Rp 21.250 /Kg, naik 26,11%. Begitu juga Minyak Goreng Kemasan Bermerk 2. Di mana pada minggu kedua bulan Oktober masih Rp 16.350/Kg, kemarin menjadi Rp 20.700/Kg atau meningkat 26,61%.

Pemerintah sebelumnya memang sempat memberikan respons tegas terhadap harga yang melesat beberapa waktu terakhir, akan tetapi sepertinya efek tersebut belum terasa nyata atau tidak bertahan lama, mengingat sebelumnya harga minyak goreng sempat turun sesaat, meskipun relatif sangat tipis.

Pemerintah memutuskan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng di tingkat konsumen maksimal Rp 14.000 per liter. Hal ini merespons lonjakan harga minyak goreng yang terjadi di Indonesia. Keputusan ini akan berlaku hingga 6 bulan ke depan dan akan dievaluasi Mei 2022.

Pemerintah juga akan menggelontorkan dana sebesar Rp 3,6 triliun untuk menutup selisih harga minyak goreng yang ditetapkan dengan HET Rp14.000 per liter untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Lonjakan harga CPO dunia yang naik menjadi US$ 1.340/MT ikut menyebabkan harga minyak goreng ikut naik cukup signifikan, selain juga faktor lain yakni kenaikan harga minyak nabati dunia.

Meningkatnya permintaan biodiesel untuk program B30 mewajibkan pencampuran 30% Biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis Solar ikut memperparah keadaan di tengah penurunan produksi CPO

Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama harga minyak goreng terus merangkak naik. Pasalnya akibat Covid-19 produksi CPO ikut menurun drastis, selain itu arus logistik juga ikut terganggu. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan menyebut turunnya pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia sebagai salah satu penghasil terbesar.

Hingga Senin pagi (10/1), harga CPO kontrak berjangka 3 bulan di Bursa Malaysia bergerak naik pada perdagangan pagi ini mendekati harga tertinggi sepanjang masa di MYR 5.071/ton. Pukul 09.30 WIB pagi ini harga CPO tercatat di posisi MYR 4.993/ton. Angka tersebut sudah melesat 0,16% dibandingkan pekan sebelumnya.

Di Indonesia, minyak goreng yang paling sering digunakan adalah Minyak Goreng Sawit (Refined Bleached Deodourised Olein/RDBO). Hal ini karena Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar, minyak ini juga cukup ideal dari segi harga dan ketersediaan. Mengingat jika harus mengimpor jenis minyak nabati yang tidak bisa diproduksi di Indonesia, perlu biaya yang besar. Yang pada akhirnya mempengaruhi daya jual sehingga hanya dapat dikonsumsi oleh golongan masyarakat tertentu.

Produksi minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh beberapa konglomerat bisnis besar, yang mana pabrik pengolahan dan pemurnian sebagian bebar terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit.

Berikut adalah 5 taipan dan konglomerat bisnis dibalik beberapa merek minyak goreng utama yang dekat dengan telinga masyarakat Indonesia.

Anthoni Salim

Anthoni Salim yang merupakan salah satu taipan yang diuntungkan dari kenaikan harga CPO. Duo emiten kelompok usaha agribisnis milik Group Salim PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) mampu mencatatkan kinerja yang cukup impresif.

Ivomas, emiten yang bergerak pada proses peningkatan nilai tambah produk agribisnis dan pemasaran produk minyak goreng ini dengan merek dagang Bimoli, Delima dan Happy Soya Oil ini mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 563 miliar hingga akhir kuartal ketiga tahun ini, mengalami perbaikan dari rugi bersih yang diperoleh sebesar Rp 172 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.  Selain itu laba bersih LSIP juga meningkat hingga 171% menjadi Rp 752 miliar pada akhir September 2021.

Anthoni Salim tercatat sebagai orang terkaya ketiga di Indonesia dan diperkirakan mencapai US$ 8,5 miliar.

Grup Sinarmas

Grup Sinarmas, konglomerasi yang didirikan oleh mendiang Eka Tjipta Widjaja ini memiliki unit usaha agribisnis di bawah naungan Sinar Mas Agro Resources and Tech Tbk (SMAR). SMAR adalah salah satu perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan terkemuka di Indonesia, adapun produk minyak goreng yang diproduksi termasuk Filma, Mitra, Kunci Mas dan Palmvita.

Berkat harga CPO yang terus membaik, SMAR mampu mencatatkan perbaikan kinerja laba dengan kenaikan fantastis. Laba bersih SMAR tercatat naik 734% dari semula hanya sebesar Rp 1,79 triliun pada September 2021.

Keluarga Widjaja merupakan taipan terkaya kedua di Indonesia dengan kekayaan mencapai US$ 9,7 miliar.

Grup Musim Mas

Musim Mas Group merupakan konglomerasi yang bergerak di lini bisnis utama minyak sawit atau CPO yang dikendalikan oleh Bachtiar Karim. Lini produk minyak goreng yang diproduksi termasuk merek SunCo, Tani dan Amago.

Musim Mas Group sendiri dalam laman resmi perusahaan mengklaim sebagai salah satu perusahaan minyak sawit terintegrasi terbesar di dunia dengan operasi yang mencakup seluruh rantai nilai di wilayah Amerika, Eropa, dan Asia.

Bermula dari pabrik sabun Nam Cheong yang dimulai di Medan, kini Musim Mas memiliki operasi di 13 negara dengan produk turunan digunakan secara luas di berbagai industri.

Forbes mencatat pada tahun 2021, Bachtiar Karim tercatat menjadi orang terkaya ke-10 di Indonesia dengan total kekayaan bersih mencapai US$ 3,5 miliar atau setara dengan Rp 50,22 triliun.

Grup Wilmar

Bersama pengusaha Singapura Kuok Khoon Hong, Martua Sitorus mendirikan grup perusahaan agribisnis Wilmar Internasional yang merupakan salah satu perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar yang tercatat di Bursa Efek Singapura.

Produk minyak goreng perusahaan yang dijual bebas di pasar Indonesia dan dekat dengan masyarakat termasuk merek Sania dan Fotune.

Minyak sawit (minyak goreng) yang diekstrak dari biji sawit adalah jenis minyak nabati yang paling banyak digunakan dan merupakan produk utama Wilmar.

Laman resmi perusahaan mengatakan jika Wilmar adalah salah satu pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dengan total luas tanam 232.053 hektar (ha) per 31 Desember 2020, di mana sekitar 65% berada di Indonesia dengan lokasi tersebar di Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Forbes mencatat pada tahun 2021 kekayaan Martua Sitorus mencapai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 40,89 triliun.

Royal Golden Eagle

Sukanto Tanoto adalah konglomerat pemilik grup usaha Royal Golden Eagle International (RGEI). Konglomerasi bisnis RGE, bergerak di berbagai industri termasuk perkebunan Kelapa Sawit (Asian Agri dan Apical).

Adapun merek minyak goreng yang diperdagangkan oleh perusahaan termasuk Camar dan Harumas.

Asian Agri dalam laman web resminya mengatakan bahwa perusahaan memiliki 30 perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara seluas 100.000 hektar.

Sedangkan situs resmi Apical mencatat perusahaan memiliki 6 kilang pemurnian, 3 pabrik biodiesel, satu pabrik pengolahan inti sawit dan satu pabrik oleokimia. Perusahaan memproduksi margarin, turunan lemak hingga biodiesel.

Dicatat Forbes, kekayaan Sukanto Tanoto mencapai US$ 2,1 miliar pada tahun 2021.

Berdasarkan data Refinitiv, dari sekitar 72 juta ton produksi CPO global, lebih dari setengahnya berasal dari Indonesia. Sejak awal tahun 2000-an, Indonesia telah melangkahi Malaysia dan menjadi produsen CPO terbesar dunia

Data produksi CPO negara produsen utama duniaFoto: Refinitiv
Data produksi CPO negara produsen utama dunia

Meski demikian, Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan konsumsi CPO terbesar di dunia. Akan tetapi di Indonesia banyak produsen minyak goreng yang tidak berafiliasi dengan produsen CPO atau kebun sawit. Ini menyebabkan harga minyak goreng sangat bergantung terhadap harga CPO. Akibatnya harga minyak goreng terutama curah dan kemasan meningkat tajam. 

Data konsumsi CPO negara produsen utama duniaFoto: Refinitiv
Data konsumsi CPO negara produsen utama dunia

Harga CPO global yang tinggi memberikan peluang 'cuan' dari ekspor lebih besar. Rata-rata 67,4% produksi Palm Oil Indonesia dijual ke luar negeri, sehingga mengurangi pasokan dalam negeri. Apalagi pasokan tersebut harus berbagi dengan proyek biomassa sehingga menekan pasokan untuk minyak goreng.

Sepanjang tahun lalu, secara rerata hingga akhir Oktober 2021, sekitar dua pertiga produksi CPO RI diekspor ke luar negeri, bahkan pada bulan Agustus tahun lalu porsi ekspor CPO mencapai 92% dari produksi bulan yang sama.

Selain itu dari sisi ekspor terdapat tren kenaikan, salah satunya karena lonjakan harga komoditas. Sementara itu untuk konsumsi domestik, angkanya relatif datar atau malah mengalami penurunan sedikit.

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular