Ngeri! Masalah Baru Usai Covid-19: Tumpukan Utang Negara
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Covid-19) membuat mayoritas negara di dunia terpaksa meningkatkan utangnya demi bertahan hidup dari ganasnya Covid-19, di mana penarikan utang tersebut dilakukan oleh pemerintah, korporasi, dan rumah tangga.
Pada tahun 2020, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mencatat utang seluruh dunia mencapai US$ 226 triliun. Dengan asumsi US$ 1 sama dengan Rp 14.265 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) per 29 Desember 2021, maka utang pemerintah itu mencapai Rp 3.223.890.000.000.000.000.
Secara nominal, utang naik US$ 28 triliun (Rp 399.000 triliun) dibandingkan 2019. Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai utang itu setara dengan 256%. Naik 28 poin persentase dibandingkan 2019, kenaikan tertinggi sejak Perang Dunia II.
Khusus utang pemerintah, rasio terhadap PDB ada di 99%. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Hal ini karena pemerintah bekerja mati-matian untuk memulihkan berbagai sektor, baik sektor kesehatan maupun sosial-ekonomi selama masa pandemi.
Saat ekonomi loyo, penerimaan pajak pun cenderung seret. Tidak heran juka pemerintahan di berbagai negara terpaksa berutang untuk menambah biaya kesehatan dan perlindungan sosial-ekonomi.
"Saat ini utang pemerintah berkontribusi hampir 40% dari total utang, porsi terbesar sejak pertengahan 1960-an. Sejak 2007, utang pemerintah terus bertambah karena kebutuhan penanganan krisis keuangan global dan pandemi virus corona," sebut laporan IMF.
Lebih dari kenaikan utang yang US$ 28 triliun tersebut disumbangkan oleh China dan negara-negara maju. Suku bunga rendah dan pasar keuangan yang dalam memudahkan negara-negara ini untuk mengakses pembiayaan.
Pada tahun depan, pandemi Covid-19 diprediksi akan berakhir oleh sebagian besar pengamat, di mana varian Omicron diperkirakan akan menjadi varian terakhir dari Covid-19).
Hal ini karena beberapa penelitian terkait varian tersebut menunjukkan bahwa gejala varian Omicron cenderung lebih ringan dari varian Covid-19 lainnya, termasuk Delta, meskipun varian Omicron lebih cepat menular.
Pada Kamis pekan lalu, sebuah penelitian di Afrika Selatan (Afsel) menunjukkan bahwa penderita Omicron memiliki peluang 80% bergejala ringan sehingga tidak harus 'mondok' ke rumah sakit.
Selain di Afsel, penelitian serupa yakni di Universitas Edinburg, Inggris menunjukkan bahwa pasien rawat inap akibat Omicron ternyata 68% lebih rendah dari kasus varian Delta.
Hal ini seperti Skenario Spanish Flu yang berpeluang terjadi pada kasus pandemi Covid-19. Meski tingkat penularan Omicron lebih ganas, dengan rasio penularan 1,5 kali dan hanya perlu 3 hari inkubasi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), efek yang ditimbulkan lebih rendah bagi manusia sehat.
Studi terbaru dari Afrika Selatan menunjukkan bahwa orang-orang yang terinfeksi Omicron, terutama yang sudah divaksin akan memiliki imun yang lebih kuat dalam menghadapi varian Delta.
Reuters melaporkan bahwa riset tersebut baru dilakukan terhadap sekelompok kecil, hanya 33 orang yang sudah divaksin dan belum. Hasilnya, netralisasi virus Omicron meningkat 14 kali lipat selama 14 hari setelah terinfeksi, dan netralisasi varian naik 4,4 kali lipat.
"Peningkatan netralisasi varian Delta pada individu yang terinfeksi Omicron dapat menurunkan kemampuan Delta untuk menginfeksi kembali individu tersebut," kata para ilmuwan, sebagaimana diwartakan Reuters, Selasa (27/12/2021).
Hasil riset tersebut juga dikatakan konsisten dengan temuan sebelumnya yakni Omicron menggantikan varian Delta karena individu yang terinfeksi memperoleh kekebalan yang menetralisir Delta.
Berdasarkan data dari Worldometer, angka kematian harian akibat Covid-19 di seluruh dunia cenderung landai, yakni di angka 6.912 jiwa per 28 Desember, dibandingkan dengan angka kematian harian pada 23 November (ketika Omicron pertama teridentifikasi) sebanyak 8.513 korban.
Artinya, data tersebut secara lugas menunjukkan bahwa kemunculan Omicron justru berujung pada penurunan angka kematian sebesar 18,8%. Hal ini berpeluang mengulang skenario Spanish Flu dan berujung pada usainya pandemi.
Total kasus serius (yang dirawat di rumah sakit) di seluruh dunia pun naik hanya terbatas yakni sebesar 9,1% dari 81.704 pada 23 November menjadi 89.106 kasus pada 28 Desember. Besar dugaan yang dirawat adalah kasus akibat varian Delta yang saat ini masih menyumbang 30% kasus.
Meskipun pada tahun depan pandemi diprediksi akan berakhir, tetapi ada ancaman baru yang akan menghampiri pasar global pada tahun depan, yakni utang.
Terlepas dari ancaman pembayaran utang, negara mana saja yang memiliki utang paling besar?
(chd/chd)