2021 in Review

Mobil Listrik: Masa Depan atau Cuma Angan-angan?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
30 December 2021 09:25
Pengarahan Presiden Jokowi kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN
Foto: Pengarahan Presiden Jokowi kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN, 16 November 2021. (Tangkapan Layar via Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Demi mencegah bencana yang akan terjadi karena perubahan iklim, pemerintah RI saat ini mulai secara bertahap melakukan transisi menuju netralitas karbon secara bertahap. Berbagai upaya mulai dilakukan seperti memensiunkan dini PLTU batu bara, menerapkan kebijakan pajak dan perdagangan karbon, hingga meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di masa depan.

Dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca tersebut, Indonesia telah merilis motor listrik nasional yang diberi nama Gesits, yang merupakan hasil dari proyek kerja sama yang melibatkan konsorsium penelitian perguruan tinggi dan pihak industri, baik itu BUMN maupun pihak swasta. Sedangkan untuk mobil listrik masih belum ada.

Selain Gesit, beberapa pabrikan motor listrik lain sebenarnya juga sudah beroperasi, akan tetapi hampir semuanya, termasuk pabrikan Gesits, dapat digolongkan sebagai pabrikan 'kecil' dengan produksi yang masih terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa peredaran kendaraan listrik di masyarakat juga masih terbatas.

Dalam acara "Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan Aplikasi Charge.IN" yang ditayangkan di kanal Youtube PLN, Ida Nuryatin Finahari selaku Direktur Pembinaan Ketenagalistrikan menyebutkan jumlah populasi motor listrik per Agustus 2021 hanya mencapai 7.526 unit.

Angka tersebut hanya sekitar 0,25% dari total target produksi motor listrik yang diharapkan oleh pemerintah mencapai 1,76 juta pada tahun 2025.

Kementerian Perindustrian menjelaskan target produksi kendaraan elektrifikasi, termasuk listrik murni dan hybrid, untuk jenis roda empat dan roda dua, bisa lebih dari 2 juta unit pada 2025. Terdiri dari 400 ribu unit roda empat dan 1,76 juta unit roda dua.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Taufiek Bawazier juga mengatakan pada 2030 produksi ditargetkan meningkat menjadi 600 ribu roda empat dan 2,45 juta unit roda dua.

Selain itu PLN sebagai penyedia daya bagi kendaraan listrik juga telah menargetkan penambahan jumlah stasiun pengisian listrik umum (SPLU) dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) secara bertahap sejalan dengan ambisi pemerintah memperbesar pasar kendaraan listrik nasional

Lalu bagaimana kondisi sektor kendaraan listrik di Indonesia saat ini?

Saat ini mobil listrik dijual secara terbatas di Indonesia, hal ini terjadi karena infrastruktur pendukung yang terbatas ditambah dengan harga yang relatif lebih mahal dari pada mobil pilihan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Masyarakat Indonesia sangat menggemari mobil jenis minivan, kendaraan multiguna (multi purpose vehicle/MPV) ini memiliki kelebihan jumlah kursi penumpang yang lebih banyak dan harga juga lebih murah. Mobil tersebut dapat diperoleh dengan harga kurang dari Rp 200 juta, yang mana harga mobil listrik paling murah yang masuk ke Indonesia masih dibanderol pada harga Rp 600-an juta.

 

Dari sisi infrastruktur pendukung sendiri, pengguna mobil berbahan bakar fosil dimanjakan dengan menjamurnya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) sampai ke pelosok Indonesia. Pengisian bahan bakar pun bisa dilakukan dengan cepat dalam hitungan detik. Seperti namanya, mobil listrik digerakkan oleh daya listrik yang disimpan di dalam baterai. Pengisiannya juga dilakukan di tempat khusus yang memiliki daya cukup besar sehingga tidak perlu menunggu lama.

Meskipun mobil listrik dapat menggunakan teknologi fast-charging tetap saja waktu pengisian daya ini sangat lama jika dibandingkan dengan mobil konvensional berbahan bakar minyak. Hal ini diperparah dengan keberadaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang jumlahnya masih sangat terbatas.

Stasiun pengisian terbatas

Berdasarkan data yang dihimpun dari aplikasi Charge.IN besutan PLN, hingga pertengahan tahun ini terdapat total 16 SPKLU yang terdaftar di aplikasi. SPKLU tersebut tersebat di 10 kota dan 7 provinsi, total soket untuk pengisian berjumlah 41.

Saat ini memang jumlah SPKLU yang tersedia dan tidak dalam pemeliharaan telah bertambah mencapai 45 unit di aplikasi rintisan PLN tersebut, meskipun demikian angka itu masih sangat kecil.

Persebaran SPKLU hingga pertengahan tahun 2021Foto: Feri Sandria
Persebaran SPKLU hingga pertengahan tahun 2021

Masing-masing SPKLU tersebut juga memiliki daya yang berbeda-beda dari mulai yang paling kecil dengan tipe AC (arus bolak-balik) mini  berdaya 7kW di ruas jalan tol Semarang-Batang, hingga tipe DC (arus searah) berdaya  87 kW di Jakarta.

Peta sebaran SPKLU hingga pertengahan tahun 2021Foto: Feri Sandria
Peta sebaran SPKLU hingga pertengahan tahun 2021

Dari peta tersebut terlihat persebaran SPKLU memanjang dari ujung barat ke ujung timur pulau Jawa, dengan 2 tambahan SPKLU di luar Jawa yang terletak di Lampung dan Bali. Jarak terjauh antar SPKLU adalah SPKLU Surabaya dan Bali, dengan jarak total 429 km dan harus menaiki kapal saat menyeberang selat Bali. Selanjutnya adalah SPKLU Surabaya dan Sragen yang berjarak 234 km.

Secara hitungan teoritis, bisa saja pengguna kendaraan listrik melakukan perjalanan darat dari Lampung hingga Surabaya, dan untuk rute Surabaya-Bali hanya mampu ditempuh oleh Hyundai Kona Electric 64 kWh, yang secara teori memiliki jarak tempuh hingga 460 km.

Tapi perlu diperhatikan bahwa hitungan jarak tempuh tersebut didasarkan oleh penggunaan biasa di jalan tol dan dalam kota. Hitungan ini tentu akan berbeda jika menghitung faktor kemacetan yang juga masih sering dirasakan masyarakat Indonesia. Belum lagi penggunaan radio, pengeras suara, mengisi daya perangkan elektronik dan kegiatan lain yang bisa menguras daya mobil tentu akan mengurasi jarak tempuh maksimal.

Jika pun pemilik kendaraan listrik merasa yakin dan cukup konservatif dalam menggunakan daya listrik mobil, perlu diingat bahwa perjalanan darat melintasi pulau Jawa harus mengikuti rute yang saklek tempat pengisian daya berada. Sangat tidak dianjurkan untuk singgah di kota tertentu menikmati kuliner dan keindahan kota, karena bisa berakibat fatal.

Untuk pemakaian kendaraan listrik dalam Jakarta sendiri, untuk saat ini masih sangat memungkinkan. Keberadaan SPKLU di sekitar Jakarta masih dapat memenuhi permintaan dari pengguna kendaraan listrik.

PLN juga tidak berdiam diri, saat ini perseroan yang memonopoli listrik di Indonesia tersebut telah membuat Roadmap Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik 2020-2024. Yang mana dalam waktu dekat PLN akan menambahkan stasiun-stasiun pengisian daya listrik baru.

Meskipun saat ini jumlah SPKLU masih sangat terbatas, PLN telah berupaya dengan setidaknya mereka mampu menghubungkan dari ujung ke ujung pulau Jawa agar pengguna kendaraan listrik bisa merasa nyaman. Meskipun upaya tersebut masih jauh dari kata cukup tapi patut untuk diberikan apresiasi.

Hingga akhir tahun 2019 berdasarkan laporan BPS tercatat panjang jalan di seluruh Indonesia mencapai 542.907 km yang melintang dari ujung barat sampai ujung timur nusantara. Ruas jalan terpanjang terdapat di pulau ketiga terbesar di Indonesia dengan total ruas jalan mencapai 183.434 km di pulau Sumatera. Pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia, Pulau Jawa dan Bali, menyusul dengan panjang ruas jalan sejumlah 126.149 km.

Selanjutnya secara berturut-turut adalah pulau Sulawesi sepanjang 81.907 kim, Pulau Kalimantan 67.323 km, Pulau Papua 51.955 km dan Kepulauan Nusa Tenggara memiliki ruas jalan terpendek dengan total 31.139 km.

Sementara itu, berdasarkan laporan kinerja BPH Migas 2019, terdapat 7.251 penyalur BBM subsidi dan non subsidi di Indonesia, dengan lebih dari tiga perempat atau 5.749 di antaranya merupakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Nyaris tiga perempat dari penyalur tersebut berada di wilayah Jawa-Bali (51,36%) dan Sumatera (21,38%). Hal ini wajar mengingat lebih dari setengah penduduk Indonesia berada di wilayah Jawa-Bali.

 

Saat ini keberadaan penyalur bahan bakar di sebagian besar wilayah Indonesia sudah sangat cukup diandalkan, kecuali untuk beberapa kawasan remote  terluar yang masih belum terjangkau sempurna. Akan tetapi bagi mayoritas masyarakat Indonesia persebaran penyalur BBM bukan merupakan masalah pelik.

Tentu jika ingin melakukan transisi secara menyeluruh, sembari menunggu teknologi pengisian daya lebih matang sehingga mampu mengurasi waktu isi secara signifikan, pemerintah perlu untuk melakukan investasi besar-besaran untuk SPKLU.

Pemerintah Indonesia dalam Grand Strategi Energi Nasional menargetkan pembangunan 572 unit SPKLU pada tahun 2021, hingga 31.859 unit SPKLU pada tahun 2030. Target SPKLU ini ditujukan untuk mengakomodasi potensi lonjakan kendaraan listrik di masa depan.

Per Agustus 2021, di Indonesia telah terdapat KBLBB sebanyak 1.478 untuk roda 4, 188 untuk roda 3, dan 7.526 unit untuk roda 2.

Tentu saja untuk membangun SPKLU, diperlukan investasi besar, walaupun para pemangku kepentingan dapat menekan beberapa pos biaya dengan melakukan konversi dari SPBU ke SPKLU. Meski demikian beberapa komponen biaya seperti instalasi dan lainnya juga masih cukup signifikan.

Pemerintah saat ini memang diketahui juga tengah menyiapkan sejumlah insentif maupun kemudahan untuk memberikan izin bagi badan usaha dan pemilik kendaraan listrik. Bertujuan agar pembangunan ekosistem kendaraan listrik melalui penyediaan infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dapat segera terealisasi.

Menghadapi ancaman perubahan iklim global, berbagai negara mencoba segala macam cara berpacu dengan waktu agar bencana global dapat dihindari, dengan memastikan kenaikan suhu global rata-rata berada di bawah 2°C, dengan tetap berusaha sekeras mungkin agar jika bisa kenaikan tidak melebihi 1.5°C dari masa pre-industrialisasi. Salah satu cara yang sedang gencar ditempuh adalah penggunaan mobil listrik yang lebih ramah lingkungan dengan jejak karbon yang sangat kecil daripada kendaraan berbahan bakar minyak.

Keandalan dan kemampuan rekayasa teknik dengan hadirnya mobil listrik tentu akan membantu umat manusia menyelesaikan tantangan global yang sudah terlihat di depan mata.

Ditandatanganinya Perjanjian Paris, tentu menjadi bukti bahwa persoalan ini tidak mungkin diselesaikan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu saja. Semua masyarakat dunia perlu bekerja sama bahu membahu demi terselesaikannya masalah kenaikan suhu global. Tanggung jawab tersebut turun ke pemimpin dunia, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan, pemangku kepentingan hingga masyarakat biasa sebagai konsumen memiliki peran kunci. Pembaruan industri transportasi dan otomotif untuk melakukan gebrakan pun tidak dapat terelakkan lagi.

Meskipun adaptasi kendaraan listrik merupakan salah satu solusi utama, akan tetapi permintaan pasar yang rendah membuat penetrasi kendaraan listrik masih kecil dan sepertinya dalam waktu dekat kendaraan berbahan bakar minyak masih menjadi pilihan utama.

Daya beli rendah mobil listrik tidak hanya unik di Indonesia, sebelum pandemi hanya 1 dari 50 mobil yang dijual di Amerika Serikat (AS) yang murni menggunakan listrik. Angka tersebut berarti hanya 2% dari total penjualan, di negara tempat Tesla, raksasa mobil listrik, didirikan dan beroperasi penuh.

Tipping point kendaraan listrik di ASFoto: Feri Sandria
Tipping point kendaraan listrik di AS (sumber: Castrol)

Dalam studi yang dilakukan oleh Castrol, diperoleh konsensus bahwa guna mencapai tipping point atau titik balik sehingga mobil listrik bisa menjadi bagian dari arus utama di Amerika Serikat, harga mobil listrik harus turun ke angka US$ 36.000 atau setara dengan Rp 522 juta (kurs 14.500).

Selain penurunan harga, waktu pengisian daya juga menjadi salah satu kendala utama yang mana konsumen menginginkan agar waktu pengisian daya dapat dipangkas hingga hanya butuh 31 menit untuk mengisi daya baterai dari kosong hingga penuh. Jarak tempuh menjadi parameter lain yang krusial, konsumen menginginkan jika mobil listrik bisa menempuh jarak hingga 469 km.

Tentu tipping point ini akan berbeda di Indonesia, jika masyarakat AS rela merogoh kocek Rp 522 juta untuk satu unit mobil listrik, di Indonesia kemungkinan harga yang diharapkan akan jauh lebih rendah dari ini.

Saat ini kepemilikan mobil listrik masih dianggap sebagai barang eksklusif, tentu akan sangat menarik jika pabrikan besar seperti Toyota, Ford, VW terjun 100% mengembangkan mobil listrik sehingga mampu memangkas biaya dan ikut berperang meramaikan pasar mobil listrik dengan harga terjangkau.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular