Skandal BLBI

Texmaco: Dekat Dengan Soeharto & Gus Dur Hingga Terlilit BLBI

Feri Sandria, CNBC Indonesia
24 December 2021 14:38
Kejar Aset Obligor BLBI, Mahfud MD: Tidak Ada Tawar-menawar Soal Penyitaan!
Foto: Kejar Aset Obligor BLBI, Mahfud MD: Tidak Ada Tawar-menawar Soal Penyitaan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah puluhan tahun luput dari telinga publik, nama Grup Texmaco kembali mengaung bergema setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melakukan pemanggilan terhadap pemilik Marimutu Sinivasan dan memastikan penyitaan aset terhadap Grup Texmaco yang terjerat skandal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam keterangan pers virtual Kamis (23/12) kemarin, Sri Mulyani menyampaikan "Satgas BLBI sudah undang pemiliknya dan pemiliknya hadir dan dalam hal ini meminta ke pemiliknya untuk melakukan kewajiban seperti yang sudah ditandatangani oleh surat sebelumnya."

Sebelumnya pemilik Grup Texmaco Marimutu Sinivasan mengakui memiliki utang kepada negara sebesar Rp 8,09 triliun. Namun, ia menampik utang itu berkaitan dengan BLBI.

"Grup Texmaco tidak pernah mendapatkan dan tidak pernah memiliki BLBI," kata Marimutu dalam keterangan resmi, Selasa (7/12).

Dalam keterangan tersebut Marimutu juga meminta keringanan kepada pemerintah untuk menyelesaikan utang itu dalam waktu tujuh tahun. Rinciannya, dua tahun grace period dan lima tahun waktu penyelesaiannya.

Bertentangan dengan pengakuan Marimutu, Sri Mulyani menyebutkan total kewajiban utang Texmaco mencapai Rp 29 triliun serta tambahan kewajiban dalam mata uang asing senilai US$ 80,57 juta atau Rp 1,15 triliun (kuras Rp 14.350/US$).

Alhasil, pemerintah memastikan penyitaan aset terhadap Grup Texmaco sudah dijalankan sesuai ketentuan. Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa menurutnya pemerintah sudah memberikan cukup waktu - lebih dari 20 tahun - dan kesempatan kepada perusahaan, tetapi tidak ada itikad baik dari pemilik untuk melunasi utang tersebut.

Awal Mula Utang Grup Texmaco

Texmaco adalah grup yang sebelum terjadinya krisis keuangan 97-98 meminjam ke berbagai bank, dengan salah satu kreditor terbesarnya adalah Bank Negara Indonesia (BNI) yang merupakan bagian dari bank BUMN. Selain itu Texmaco juga meminjam pada bank BUMN lain seperti Bank Mandiri dan BRI serta beberapa bank swasta lainnya.

Dilansir Wall Street Journal (WSJ), Laksamana Sukardi, Menteri BUMN era Gus Dur, mengatakan mantan presiden Soeharto terlibat dalam pemberian 'fasilitas khusus' pada akhir 1997 kepada Texmaco.

CEO Texmaco, Marimutu Sinivasan, diketahui adalah teman dekat Soeharto mengakui menulis dua surat kepada sang presiden saat itu untuk meminta persetujuan Soeharto atas dana tersebut, tetapi menyangkal melakukan kesalahan.

Laksamana mengatakan kepada DPR bahwa Bank Indonesia telah menyalurkan BNI senilai US$ 754,1 juta, ditambah 1,9 triliun rupiah dalam fasilitas perdagangan pra-pengapalan, ke Texmaco, yang bertentangan dengan peraturan bank sentral yang hanya mengizinkan fasilitas pasca pengapalan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>

Demi mencegah kebangkrutan bank yang ditakutkan dapat meluas ke ekonomi secara luas, pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan (bail out) kreditor Texmaco dan memberikan dana talangan demi memperingan kondisi krisis moneter dan keuangan yang sedang menghantam.

Namun, karena bank tempat Texmaco meminjam tidak bisa membayar utang ke pemerintah maka semua yang menjadi hak tagih bank atas utang yang mereka pinjamkan ke grup bisnis tekstil beralih ke negara.

Grup Texmaco merupakan perusahaan multinasional produsen tekstil yang didirikan pada tahun 1966 dan bermarkas di Jakarta, Indonesia. Perusahaan tekstil yang terlilit utang jumbo ini dirintis oleh Marimutu Sinivasan, pengusaha asal Indonesia berdarah India. Selain di bidang tekstil perusahaan juga memiliki unit bisnis yang bergerak di bidang rekayasa (engineering).

WSJ pada tahun 2000 melaporkan bahwa beberapa hari setelah Grup Texmaco menyetujui perjanjian restrukturisasi utang terbesar di Indonesia itu, perusahaan menyembunyikan beberapa aset asingnya dari kreditur negara dengan mentransfernya ke perusahaan Kepulauan Virgin Britania Raya yang dikendalikan oleh salah satu eksekutif puncaknya, menurut dokumen yang diajukan ke Komisi Bursa Efek AS.

Dalam kesepakatan itu, Texmaco berjanji untuk menyerahkan semua asetnya kepada perusahaan induk baru yang akan dimiliki oleh BPPN - 70% kepemilikan dan kendali manajemen perusahaan tekstil dan rekayasa -hingga utangnya sebesar US$ 2,7 miliar dilunasi.

Perjanjian utang itu juga mengatur agar pemerintah menunjuk tim eksekutif baru untuk menjalankan Texmaco. Pengaturan tersebut membatasi kepemilikan oleh Sinivasan Marimutu maksimal 30% saham sampai Texmaco melunasi seluruh utang kepada pemerintah, yang diperkirakan akan memakan waktu 12 tahun. Selain kepada pemerintah, Texmaco saat itu juga dikatakan memiliki kewajiban tambahan US$ 1,7 miliar kepada kreditur swasta.

Akan tetapi beberapa bulan kemudian, BPPN mengusulkan untuk memberikan Marimutu 100% kepemilikan atas perusahaan induk terpisah yang akan mengelola bisnis teknik Texmaco, sedangkan untuk unit tekstil tetap sama 70% BPPN - 30% Texmaco.

Keputusan tersebut melanggar aturan yang membatasi pemilik sebelumnya agar hanya dapat menjadi pemegang saham minoritas. Tapi BPPN menyampaikan, pemerintah tidak menginginkan unit bisnis rekayasa Texmaco karena memiliki utang yang berat dan prospek yang suram.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 

Krisis keuangan yang terjadi jelang akhir abad ke-20 tersebut sebenarnya tidak eksklusif hanya di Indonesia, melainkan ikut melanda sebagian negara di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.

Krisis yang bermula di Thailand, seiring jatuhnya nilai mata uang baht akibat beban utang luar negeri yang besar, mulai menjalar ke negara lain seperti Malaysia, Filipina, Korea Selatan dan tentu saja Indonesia.

Sementara itu, meskipun Brunei, Cina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, namun sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Namun, pemulihan pada tahun 1998-1999 berlangsung cepat dan kekhawatiran akan krisis mereda setelah pemerintah masing-masing negara dibantu juga oleh lembaga keuangan internasional turun tangan.

DI Indonesia pemerintah mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.

Di atas kerta tugas BPPN terkait pengembalian uang negara cukup sederhana, yakni menjual aset sebanyak mungkin untuk mendapatkan kembali uang yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan bank-banknya selama krisis keuangan Asia tahun 1997-98.

Dalam prosesnya, BPPN mengambil alih portofolio besar aset yang dimiliki oleh hampir semua bank nasional dan konglomerat afiliasinya -- mulai dari perkebunan kelapa sawit dan pabrik tekstil hingga pembuat mobil dan hotel resor.

Dalam upaya menjual aset, BPPN tersedot ke dalam pusaran persaingan kepentingan politik dan ekonomi. Aset bank tersebut pernah menjadi milik para taipan Indonesia, orang-orang yang menjadi kaya karena hubungan mereka dengan Presiden Soeharto, yang meskipun telah digulingkan, para konglomerat tersebut merasa masih memiliki hak yang sama (entitlement), termasuk Texmaco.

Dilansir The New York Times, hingga April 2021 BPPN yang kala itu dipimpin mantan eksekutif Citibank Edwin Gerungan mengatakan dia hanya mencoba secepat mungkin mengembalikan uang negara demi membantu menutup defisit anggaran Indonesia, yang bisa membengkak menjadi US$ 8 miliar tahun itu. Tetapi hingga saat itu hanya mampu mengembalikan 7% dari aset dan kredit macet yang diwarisi dari bank yang diselamatkan.

Kondisi tersebut sangat buruk dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, yang juga mendirikan lembaga serupa untuk menyelamatkan atau melikuidasi bank dan perusahaan yang bangkrut dalam krisis keuangan. Kala itu, Thailand telah menjual 70% asetnya yang sarat utang, menurut Bank Dunia. Malaysia telah menurunkan 61% portofolionya, dan Korea Selatan telah menjual 48%.

Perjanjian utang Texmaco-BPPN menjadi perbincangan hangat di Indonesia, dengan para kritik menuduh bahwa hubungan dekat antara Sinivasan dan Presiden Indonesia saat itu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuka jalan bagi 'kesepakatan manis' yang membuat Texmaco tetap utuh dan memberinya waktu hingga 2011 untuk melunasi kewajibannya.

Kesepakatan tersebut memberikan sedikit keuntungan jangka pendek bagi Indonesia, karena Texmaco hanya diharuskan membayar kembali US$ 54,5 juta kepada BPPN selama empat tahun pertama -- jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diperoleh perusahaan melalui penjualan saham di perusahaan tekstil Jerman Trevira senilai US$ 120 juta beberapa bulan sebelumnya.

Perjanjian dengan Texmaco tersebut diungkapkan untuk mempertahankan sekitar 250.000 pekerjaan yang bergantung pada perusahaan, baik secara langsung maupun melalui pemasok.Tetapi sebagian kritik menyebutkan bahwa kedekatan Texmaco dengan keluarga Wahid adalah alasan sebenarnya.

Gus Dur yang kala itu dikecam anggota parlemen - sebelum akhirnya dimakzulkan - menyebut Grup Texmaco sebagai "aset nasional" yang harus dilestarikan, juga menekankan bahwa pekerjaan yang diciptakan perusahaan terlalu berharga untuk dikorbankan.

Setelahnya, pada Mei 2021 Gus Dur mengatakan dia telah meminta menteri ekonomi utamanya untuk memastikan bahwa Texmaco dilindungi sehingga bisnisnya dapat dikembangkan, meskipun utangnya besar kepada pemerintah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 

Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014 tercantum perihal aset Texmaco Grup yang dalam penguasan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang dulu dikenal dengan BPPN.

Dalam lampiran kredit aset kelolaan PPA, nilai total aset Group Texmaco yang dikelola PPA hanya berjumlah Rp 1,43 triliun. Jauh lebih kecil dari tagihan yang dikemukakan oleh Sri Mulayani.

Aset Texmaco yang dikelolan PPAFoto: BPK
Aset Texmaco yang dikelolan PPA

Menurut catatan PPA, lima perusahaan yang berada di bawah Texmaco, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering, PT Bina Prima Perdana, PT Texmaco Jaya Tbk, PT Wastra Indah, serta PT Polysindo Eka Perkasa (sekarang bernama PT Asia Pacific Fibers Tbk [POLY]).

Setelah sekian lama mangkir dari pembayaran utang, Sri Mulyani mengakui bahwa pemerintah sebelumnya masih memberikan peluang untuk dibicarakan dengan baik dengan memanggil pemiliknya. Namun, itikad baik dari pemilik Grup Texmaco untuk membayar utangnya tidak ada sehingga pada akhirnya dilakukan penyitaan aset.

"Jadi dalam hal ini pemerintah sudah berkali-kali memberi peluang bahkan mendukung agar perusahaan yang masih bisa berjalan, namun tidak ada sedikit pun ada tanda-tanda akan melakukan itikad untuk membayar kembali. Oleh karena itu, pada hari ini pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset. Ini adalah bentuk sesudah lebih dari 20 tahun memberikan uang dan waktu, kesempatan, dan bahkan mendukungnya dengan beri LC nya jaminan," pungkasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular