
Melihat Lagi Kondisi China, Benarkah RI Tak Perlu Khawatir?

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi perekonomian China yang dimungkinkan stagflasi menjadi kekhawatiran banyak negara beberapa waktu lalu. Namun sederet kebijakan pemerintahan Xi Jinping membuat ancaman tersebut kini mereda.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menjelaskan risiko ini awalnya muncul karena Caixin PMI Manufacturing, yang turun hingga 49,6 pada November. Begitu juga indikator ekonomi lain seperti Industrial Production dan Retail Sales, yang cenderung melandai dalam 2-3 bulan terakhir.
Hanya saja tingkat inflasi Tiongkok masih tercatat 2,3% secara year on year (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 1,5% yoy. Situasi ini yang kemudian dinamakan stagflasi.
"Kenaikan harga yang tidak diikuti oleh kenaikan permintaan masih menjadi ancaman perekonomian Tiongkok di jangka panjang bila tidak dibarengi oleh kebijakan perekonomian yang longgar," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (10/12/2021).
The People's Bank of China (PBOC) pekan lalu mengantisipasi lewat kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) kepada perbankan. Tujuannya agar perbankan mau mengucurkan kredit lebih banyak sehingga mendorong peningkatan sisi produksi. Pelonggaran regulasi juga dilakukan pada sektor properti.
"Bila kebijakan ini konsisten diterapkan, dan diikuti oleh kebijakan fiskal maupun moneter lainnya, diperkirakan probabilitas stagflasi di Tiongkok mengalami penurunan," jelasnya.
Josua tidak mau buru-buru menghapus China dari daftar ancaman terhadap perekonomian Indonesia. Perlu waktu untuk memastikan hal tersebut, sekalipun China cenderung agresif dalam kebijakannya. "Stagflasi dari Tiongkok masih menjadi risiko yang mungkin terjadi di tahun 2022," ujar Josua.
Bila stagflasi terjadi,apa dampaknya untuk Indonesia?
"Sektor yang terdampak signifikan adalah sektor yang berkaitan dengan ekspor ke Tiongkok, seperti sektor komoditas CPO, Tiongkok, serta baja. Stagflasi menyebabkan permintaan ekspor Indonesia menurun, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi serta transaksi berjalan," terangnya.
"Penurunan ekspor mendorong kenaikan potensi defisit transaksi berjalan, yang kemudian memberikan eksposur lebih kepada Rupiah. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, penurunan ekspor akan menurunkan kapasitas produksi serta aktivitas manufaktur yang berkaitan sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi," tutup Josua.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lumayan Bikin Lega Nih, China Tak Lagi Jadi Ancaman RI!