Resmi Default, Bagaimana Nasib Evergrande Dkk Selanjutnya?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
10 December 2021 08:55
CHINA EVERGRANDE-DEBT/
Foto: REUTERS/Bobby Yip

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkatan internasional, Fitch Ratings, dalam rilis resminya Kamis (9/12) kemarin mengatakan China Evergrande Group dan pengembang properti Kaisa Group Holdings telah mengalami gagal bayar setelah sebelumnya melewatkan pembayaran obligasi dalam dolar AS.

Selama berminggu-minggu, pasar global menyaksikan dengan seksama perjuangan China Evergrande, raksasa real estat yang terlunta-lunta oleh beban utang lebih dari US$ 300 miliar yang tampaknya hampir tidak mampu melakukan pembayaran yang diperlukan kepada investor global.

Kamis kemarin, tiga hari setelah tenggat waktu berlalu Evergrande masih bisu dan belum mengeluarkan pernyataan resmi apa pun, memaksa lembaga pemeringkatan internasional untuk menurunkan peringkat utang perusahaan pengembang tersebut.

Fitch Ratings dalam pernyataannya mengatakan bahwa mereka telah menempatkan pengembang properti China dalam kategori 'restricted default/RD'. Penurunan peringkat tersebut berarti Evergrande secara resmi telah mengalami gagal bayar tetapi belum memasuki segala jenis pengajuan kebangkrutan, likuidasi atau proses lain yang akan menghentikan operasinya.

Belum diketahui secara pasti langkah selanjutnya yang diambil perusahaan, apakah itu mengajukan kebangkrutan, penjualan cepat aset yang dimiliki atau malah tetap melaksanakan bisnis seperti biasa. Kondisi RD di banyak kawasan dunia lain memungkinkan pemegang obligasi untuk mendorong perusahaan melakukan berbagai langkah reorganisasi dan restrukturisasi, biasanya dipaksa oleh putusan pengadilan.

Hal tersebut mungkin masih dapat terjadi, walaupun Partai Komunis di China terus menangani krisis perusahaan agar tidak menyebar di luar kendali. Apalagi dengan Evergrande, risikonya lumayan besar mengingat pembubaran perusahaan secara tiba-tiba dapat menghantam sistem keuangan negara atau menjadi malapetaka bagi banyak pemilik rumah di China yang telah membayar apartemen Evergrande tetapi masih belum dibangun.

Investor perusahaan yang sebagian besar telah menyerah sekarang menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan Evergrande selanjutnya, yang dinasihati oleh lembaga keuangan yang terkait dengan negara.

Fitch mengatakan Evergrande belum menanggapi permintaan konfirmasi mengenai apakah mereka telah memenuhi atau melewatkan pembayaran US$ 82 juta (Rp 1,17 triliun) kepada pemegang obligasi yang jatuh tempo pada hari Senin.

Gagal bayar kali ini akan menguji pemahaman lama di antara investor asing bahwa Beijing pada akhirnya akan turun tangan untuk menyelamatkan perusahaan terbesarnya.

Selama bertahun-tahun, banyak investor memberikan uang kepada perusahaan seperti Evergrande berdasarkan asumsi tersebut. Baru-baru ini, pihak berwenang telah memberikan indikasi bahwa mereka mungkin saja membiarkan perusahaan gagal demi mengendalikan masalah utang China yang tidak berkelanjutan.

Untuk menegaskan poin tersebut, bank sentral China menyalahkan "manajemen yang buruk dan ekspansi sembrono" Evergrande sebagai masalah utama dan mengatakan krisis itu terbatas pada Evergrande.

Dikutip Reuters, pada hari Kamis kemarin Gubernur People's Bank of China (PBOC) Yi Gang mengatakan bahwa hak-hak pemegang saham dan kreditur Evergrande akan "sepenuhnya dihormati" berdasarkan senioritas hukum mereka, dan risiko yang disebabkan oleh beberapa perusahaan real estat China dalam jangka pendek tidak akan mengganggu pasar modal Hong Kong.

Evergrande telah mengatakan akan 'secara aktif' melibatkan kreditur asingnya untuk membuat rencana restrukturisasi, bagaimanapun, hampir bisa dipastikan bahwa Beijing akan turut memainkan peran utama. Awal pekan ini, Evergrande mengatakan pejabat dari beberapa lembaga yang didukung negara telah bergabung dengan komite risiko yang akan membantu perusahaan dalam restrukturisasi.

Beijing telah menjadi yang terdepan dalam krisis dan bencana yang dialami perusahaan raksasa di masa lalu. Tiga tahun lalu, Beijing mengambil alih Anbang Insurance Group setelah menahan ketuanya, yang kemudian dikirim ke penjara karena penipuan. Awal tahun lalu, pejabat pemerintah daerah turun tangan untuk mengambil alih HNA Grup, perusahaan konglomerasi yang dibebani utang dari akuisisi luar negeri yang mahal. Di bawah kendali mereka, perusahaan yang bermasalah didorong ke dalam administrasi sehingga terlindungi dari tindakan hukum oleh kreditur yang ingin mengajukan permohonan untuk membubarkan perusahaan selama proses administrasi.

Partai Komunis yang mengendalikan pengadilan lokal dan memiliki sejarah dan atendensi untuk meninggalkan investor asing dengan sedikit atau tidak sama sekali. Meskipun Investor bisa mengejar aset perusahaan di luar negeri, akan tetapi prosesnya akan panjang dan bisa berantakan.

Selama lebih dari satu dekade, Evergrande adalah pengembang terbesar di China, mencetak uang dari ledakan properti dalam skala yang belum pernah dilihat dunia. Dengan setiap keberhasilan, perusahaan berkembang ke area baru, seperti air minum kemasan, olahraga profesional, dan kendaraan listrik.

Hingga akhirnya perusahaan meminjam terlalu banyak untuk membayar tagihannya kepada bank, kontraktor, dan investor. Selain utang yang tercatat sebesar US$ 300 miliar, beberapa ahli memperkirakan kewajibannya di luar pembukuan bisa mencapai US$ 156 miliar lagi.

Masalah keuangannya tersebut sebagian merupakan buah dari upaya Beijing untuk mendinginkan pasar perumahan China. Khawatir limpahan ke sistem keuangan yang lebih luas, regulator telah menindak pengembang seperti Evergrande, memaksa mereka untuk melunasi utang kepada bank dan lembaga keuangan lainnya, sembari membatasi akses pinjaman baru kepada lembaga keuangan.

Evergrande berjuang untuk menjual daftar panjang aset yang dimiliki. Hingga saat ini perusahaan masih belum mampu menjual bisnis kendaraan listrik meskipun ada pembicaraan dengan pembeli yang tertarik. Para ahli memperingatkan bahwa calon pembeli sedang menunggu fire sale, atau penjualan dengan harga diskon tinggi mengingat perusahaan sedang terjepit.

Pasar properti yang melambat dan permintaan apartemen baru yang berkurang memperburuk keadaan.

Bulan September lalu diketahui sebanyak 1,6 juta pembeli rumah masih menunggu untuk pindah ke apartemen ketika perusahaan mengumpulkan para eksekutif dan meminta mereka untuk secara terbuka menandatangani apa yang disebut 'military order' - sebuah janji yang memastikan penyelesaian ratusan proyek pembangunan yang sudah terjual.

Demi memenuhi janji itu, Evergrande perlu menjual properti baru terlebih dahulu untuk mengumpulkan cukup uang agar tetap beroperasi - atau untuk menemukan sumber pendanaan lain.

Hebatnya, selama beberapa bulan Evergrande berhasil terus membayar pemegang obligasi. Sedikit yang mengira Evergrande akan bertahan lama. Pengembang Cina lainnya mulai berjuang karena investor ikut panik. Dengan akses terbatas ke pembiayaan di tengah tindakan keras industri yang lebih luas terhadap pinjaman, lebih dari 11 perusahaan real estat gagal membayar obligasi mereka tahun ini.

Ketika masalahnya semakin memburuk, Evergrande semakin sedikit berbicara tentang prospeknya. Untuk mengetahui apakah mereka telah melakukan pembayaran, dunia keuangan beralih ke pemegang obligasi untuk menanyakan apakah mereka telah menerima pembayaran tersebut.

Di China, di mana sensor terhadap berita negatif sering dilakukan, investor harus kuat hati menunggu informasi apa pun yang dianggap layak untuk dirilis oleh Evergrande dan Beijing.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular