
China Bikin Tenang, Kurs Dolar Australia Tembus Rp 10.300

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia kembali menguat melawan rupiah pada perdagangan Kamis (9/12). Jika sukses dipertahankan hingga penutupan nanti, dolar Australia akan mencatat penguatan 4 hari beruntun, padahal di awal pekan ini nyaris jeblok ke bawah Rp 10.000/AU$.
Pada pukul 13:26 WIB, AU$ 1 setara Rp 10.301,14, dolar Australia menguat tipis kurang dari 0,1% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kemungkinan suku bunga di Australia naik sebelum tahun 2024 juga memberikan sentimen positif. Pada awal November lalu, bank sentral Australia (Reserve bank of Australia/RBA) menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga 2024, yang membuat dolar Australia jeblok sekitar 6% melawan rupiah hingga akhir pekan lalu.
Tetapi, dalam pengumuman kebijakan moneter Selasa (7/12) RBA terlihat membuka ruang untuk kenaikan suku bunga lebih awal.
Hal tersebut terindikasi dari pernyataan gubernur RBA, Philip Lowe yang tidak lagi menyebutkan "suku bunga tidak akan dinaikkan sebelum 2024" tetapi mengatakan "anggota dewan tidak akan menaikkan suku bunga hingga inflasi aktual berada dalam target 2% hingga 3%".
Artinya, jika inflasi konsisten berada di dalam target tersebut, RBA kemungkinan akan menaikkan suku bunga.
Selain itu, meredanya kecemasan akan stagflasi China juga membuat dolar Australia menguat. Maklum saja, China merupakan mitra dagang utama Australia, ketika stagflasi atau pelambatan ekonomi dengan inflasi yang tinggi terjadi, maka Australia juga terkena dampaknya.
Beberapa data dari China belakangan ini meredakan kecemasan terjadinya stagflasi.
Pemerintah China pada Selasa (30/11) purchasing managers' index (PMI) manufaktur di November tumbuh 50,1 dari sebelumnya 49,2.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Sebelumnya, PMI manufaktur China mengalami kontraksi dalam 2 bulan beruntun sehingga memicu kecemasan akan risiko merosotnya perekonomian China.
Selain itu, tekanan inflasi di China juga mulai mereda. Biro Statistik Nasional China hari ini melaporkan inflasi di sektor produsen (producer price index/PPI) di bulan November tumbuh sebesar 12,9% year-on-year (yoy). Meski masih sangat tinggi, tetapi PPI tersebut sudah melambat ketimbang bulan sebelumnya 13,5% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 26 tahun terakhir.
Sementara jika dilihat secara bulanan, PPI di November stagnan dibandingkan bulan Oktober. Selama 11 bulan di tahun ini, inflasi produsen tumbuh 7,9% dibandingkan periode Januari-November 2020.
Melambatnya pertumbuhan inflasi produsen tersebut juga meredakan kecemasan akan stagflasi yang bisa dialami China, dan memberikan sentimen positif ke dolar Australia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lagi-Lagi Karena China, Dolar Australia Berjaya Lawan Rupiah
