Ancaman dari China Berkurang, Pak Jokowi Boleh Loh Nafas Dulu

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 December 2021 13:25
Aktivitas bongkar muat peti kemas kontainer di Pelabuhan Yangshan di Shanghai, China Timur
Foto: Dermaga peti kemas Pelabuhan Yangshan di Shanghai, China Timur (23/4/2017). (Ding Ting/Xinhua via AP)

Untuk saat ini, ancaman stagflasi dari China mulai sedikit mereda. Beberapa indikator perekonomian menunjukkan perbaikan. Bank Indonesia (BI) juga yakin China tidak akan mengalami stagflasi.

"Kami sendiri tetap meyakini bahwa tidak akan terjadi stagflasi di China," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Rabu (8/12/2021).

Hariyadi menjelaskan, perbaikan ekonomi China tercermin dari indikator purchasing managers' index (PMI) manufaktur yang masuk zona ekspansi. Dimana pada Oktober berada di posisi 49,2 dan di November menjadi 50,1 poin.

pmi

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Sebelumnya, PMI manufaktur China mengalami kontraksi dalam 2 bulan beruntun sehingga memicu kecemasan akan risiko merosotnya perekonomian China.

Selain itu, tekanan inflasi di China juga mulai mereda. Biro Statistik Nasional China hari ini melaporkan inflasi di sektor produsen (producer price index/PPI) di bulan November tumbuh sebesar 12,9% year-on-year (yoy). Meski masih sangat tinggi, tetapi PPI tersebut sudah melambat ketimbang bulan sebelumnya 13,5% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 26 tahun terakhir.

Sementara jika dilihat secara bulanan, PPI di November stagnan dibandingkan bulan Oktober. Selama 11 bulan di tahun ini, inflasi produsen tumbuh 7,9% dibandingkan periode Januari-November 2020.

Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) juga bertindak guna memacu pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps). BI melihat langkah PBoC tersebut membuat likuiditas perbankan bertambah sebesar 1,2 triliun yuan.

"Ini baru dilakukan 2 hari lalu dan tentunya kami melihat dengan adanya injeksi likuiditas sebesar 1,2 triliun ini akan dukung aktivitas ekonomi China dan juga sekaligus meredakan keketatan likuiditas di sistem keuangan China," kata Haryadi.

Sementara itu, munculnya varian baru Covid-19 yakni Omicron dinilai tidak akan berdampak besar bagi pergerakan positif yang sudah terjadi di China.

"Kami yakini meski ada penyebaran omicron ini akan relatif minimal dengan tingkat vitality terbatas," pungkasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular