Ancaman dari China Berkurang, Pak Jokowi Boleh Loh Nafas Dulu

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 December 2021 13:25
Jokowi dan Xi Jinping
Foto: Biro Pers Istana

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sukses mengendalikan pandemi penyakit virus corona (Covid-19) saat negara-negara lain masih mengalami kenaikan kasus. Hal tersebut tentunya menjadi kabar bagus bagi perekonomian Republik Indonesia (RI).

Tetapi, ancaman dari luar negeri masih banyak, apalagi muncul virus corona varian Omicron yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan perlu adanya antisipasi untuk memitigasi dampaknya.

"Orang juga takut dengan tapering off, dan bingungnya negara-negara sekarang ini berkaitan dengan global supply chain dan ketergantungan kita pada satu, dua, tiga negara. Dan juga kesulitan kontainer hampir semua ini disrupsi yang mengacaukan," kata Jokowi saat berbicara dalam Kompas CEO Forum 18 November lalu.

Masalah ketergantungan, China bisa memberikan masalah bagi Indonesia jika perekonomiannya mengalami kemerosotan. Bahkan, sempat beredar kecemasan China akan mengalami stagflasi, alias melambatnya pertumbuhan ekonomi hingga stagnan dengan inflasi yang tinggi.

Ketika perekonomian China memburuk, maka Indonesia juga akan terkena dampaknya. Maklum saja, Negeri Tiongkok merupakan pangsa pasar ekspor terbesar Indonesia, begitu juga dengan impor yang besar dari China.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor non-migas Indonesia ke China pada periode Januari-Oktober mencapai US$ 40,6 miliar, mengalami kenaikan hingga 74% dari periode yang sama tahun 2020.

Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% dari total ekspor Indonesia. Kontribusi tersebut lebih dari dua kali lipat dibandingkan Amerika Serikat, yakni 11%, yang berada di urutan kedua negara tujuan ekspor RI.

Artinya, China merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia, ketika perekonomian stagnan ada risiko demand akan menurun, yang berdampak pada industri di dalam negeri.

Kemudian impor dari China lebih krusial lagi. Sejak tahun 1990, nilai impor dari China nyaris selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Penurunan tajam baru terjadi pada tahun lalu.

china

Berdasarkan data BPS, impor dari China berkontribusi sebesar 32% dari total impor non-migas Indonesia periode Januari-Oktober 2021, dengan nilai US$ 43,7 miliar. Total impor dalam 10 bulan tersebut sudah lebih tinggi dari total impor sepanjang 2020 sebesar US$ 39,4 miliar.

Ketika inflasi di China terus merangkak, maka harga produknya tentu akan lebih mahal yang bisa merugikan bagi industri di dalam negeri. Kenaikan harga tersebut juga bisa membuat defisit neraca dagang dengan China semakin lebar, bahkan juga berisiko memicu kenaikan inflasi di dalam negeri.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Perekonomiannya Membaik, Ancaman Dari China Mereda

Untuk saat ini, ancaman stagflasi dari China mulai sedikit mereda. Beberapa indikator perekonomian menunjukkan perbaikan. Bank Indonesia (BI) juga yakin China tidak akan mengalami stagflasi.

"Kami sendiri tetap meyakini bahwa tidak akan terjadi stagflasi di China," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Rabu (8/12/2021).

Hariyadi menjelaskan, perbaikan ekonomi China tercermin dari indikator purchasing managers' index (PMI) manufaktur yang masuk zona ekspansi. Dimana pada Oktober berada di posisi 49,2 dan di November menjadi 50,1 poin.

pmi

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Sebelumnya, PMI manufaktur China mengalami kontraksi dalam 2 bulan beruntun sehingga memicu kecemasan akan risiko merosotnya perekonomian China.

Selain itu, tekanan inflasi di China juga mulai mereda. Biro Statistik Nasional China hari ini melaporkan inflasi di sektor produsen (producer price index/PPI) di bulan November tumbuh sebesar 12,9% year-on-year (yoy). Meski masih sangat tinggi, tetapi PPI tersebut sudah melambat ketimbang bulan sebelumnya 13,5% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 26 tahun terakhir.

Sementara jika dilihat secara bulanan, PPI di November stagnan dibandingkan bulan Oktober. Selama 11 bulan di tahun ini, inflasi produsen tumbuh 7,9% dibandingkan periode Januari-November 2020.

Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) juga bertindak guna memacu pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps). BI melihat langkah PBoC tersebut membuat likuiditas perbankan bertambah sebesar 1,2 triliun yuan.

"Ini baru dilakukan 2 hari lalu dan tentunya kami melihat dengan adanya injeksi likuiditas sebesar 1,2 triliun ini akan dukung aktivitas ekonomi China dan juga sekaligus meredakan keketatan likuiditas di sistem keuangan China," kata Haryadi.

Sementara itu, munculnya varian baru Covid-19 yakni Omicron dinilai tidak akan berdampak besar bagi pergerakan positif yang sudah terjadi di China.

"Kami yakini meski ada penyebaran omicron ini akan relatif minimal dengan tingkat vitality terbatas," pungkasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular