Analisis

Sudah Longsor Parah, Serok atau Kabur dari Saham Bukalapak?

Riset, CNBC Indonesia
08 December 2021 08:16
CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dan Komisaris Utama Bambang Brodjonegoro, dok Bukalapak, IPO 6 Agustus 2021
Foto: CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dan Komisaris Utama Bambang Brodjonegoro, dok Bukalapak, IPO 6 Agustus 2021

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) terus bergerak downtrend sejak akhir bulan November lalu. Pada perdagangan Selasa (7/12/2021) harga saham BUKA sempat dibuka melemah 6,58% atau terkena auto reject bawah (ARB) namun berhasil bangkit meskipun masih terkoreksi 2,63% dan ditutup di level Rp 444/unit.

Sebagai informasi, harga penutupan saham BUKA merupakan harga penutupan harian terendahnya (All Time Low) sejak emiten e-commerce yang dibekingi Emtek Group ini melantai di bursa saham nasional.

BUKA resmi diperdagangkan di pasar sekunder pada awal Agustus lalu setelah melepas 25% saham dari total modal ditempatkan dan disetor penuh di harga Rp 850/unit.

Nilai kapitalisasi pasar BUKA kala itu mencapai Rp 87 triliun. Namun saham BUKA cenderung terus menerus dirundung koreksi setelahnya.

Tren pelemahan saham BUKA semakin terlihat sejak 22 November 2021. Saham BUKA melemah dalam 12 hari perdagangan terakhir secara beruntun.

Dengan tren koreksi itu, market cap saham BUKA sudah menguap Rp 41 triliun sejak melantai di bursa setara dengan penurunan hampir 50%.

Meskipun saham BUKA sudah anjlok parah, tetapi sampai saat ini otoritas bursa belum juga belum melakukan suspensi atas saham teknologi yang satu ini.

Setelah mengalami downtrend yang tajam, bagaimana seharusnya investor bersikap? Apakah sekarang saat yang tepat untuk melakukan pembelian atau malah sebaiknya tunggu terlebih dahulu.

Secara fundamental prospek pertumbuhan bisnis BUKA memang masih terbuka. Secara valuasi juga saham buka tidak bisa dikatakan mahal.

Tercatat BUKA memiliki ekuitas sebesar Rp 23,94 triliun dimana mayoritas Rp 22 triliun yang diterima dari penawaran perdana banyak diletakan perseroan di deposito. Dengan kapitalisasi pasar Rp 45,76 triliun maka valuasi nilai buku dibanding harga alias PBV berada di kisaran 1,92 kali.

Mengacu laporan keuangan perusahaan sampai dengan sembilan bulan pertama ini, BUKA tercatat membukukan pendapatan bersih senilai Rp 1,34 triliun, naik 42,09% dari periode yang sama di tahun sebelumnya senilai Rp 948,43 miliar.

Rinciannya, pendapatan itu bersumber dari pendapatan marketplace yang naik menjadi Rp 780,41 miliar dari periode sama tahun lalu Rp 742 miliar.

Pendapatan mitra naik menjadi Rp 496,70 miliar dari sebelumnya Rp 117,47 miliar. Sedangkan, BukaPengadaan memberi andil terhadap pendapatan perseroan senilai Rp 70,56 miliar, turun dari Rp 88,95 miliar.

Dari sisi Total Processing Value (TPV) sampai dengan September ini tumbuh 45% menjadi Rp 87,9 triliun. TPV ini juga naik dari posisi kuartal ketiga yang tercatat naik 51% menjadi Rp 31,2 triliun.

Secara pertumbuhan jelas BUKA masih mampu membukukan growth yang fantastis, apalagi di tengah kondisi pandemi di mana masyarakat cenderung beralih ke berbelanja online untuk memenuhi berbagai kebutuhan meskipun pangsa pasar Bukalapak masih kalah jauh dibanding pesaing-pesaingnya seperti Tokopedia dan Shopee.

Terakhir, perlu diingat sebentar lagi lock up period saham BUKA akan segera dibuka. Ini berarti pemegang saham lama BUKA yang membeli BUKA di harga murah bisa memanfaatkan momentum tersebut untuk merealisasikan profitnya. Sehingga jika periode penguncian saham sudah dibuka maka aksi jual saham BUKA kemungkinan akan berlanjut sehingga hal ini perlu diwaspadai.

Analis Teknikal

BukaFoto: Riset
Buka

Pergerakan BUKA secara teknikal dengan menggunakan periode harian (daily), Dengan terus merosotnya saham BUKA membuat indikator Stochastic berada di wilayah jenuh jual (oversold) dalam yang cukup lama sehingga membuka peluang rebound BUKA dalam waktu dekat.

Indikator Relative Strength Index (RSI) sebagai indikator momentum yang membandingkan antara besaran kenaikan dan penurunan harga terkini dalam suatu periode waktu dan berfungsi untuk mendeteksi kondisi jenuh beli (overbought) di atas level 70-80 dan jenuh jual (oversold) di bawah level 30-20.

Saat ini RSI berada di area 18 yang menunjukkan adanya indikator jenuh jual sehingga BUKA berpeluang menguat.

Namun, untuk menguat lebih jauh BUKA perlu melewati resisten kuat di kisaran Rp 520/saham. Resisten tersebut merupakan level 100% dari Trend-Base Fibbonacci Extention, yang ditarik dari awal harga tertinggi 28 September di Rp 900/saham, kemudian titik terendah 2 November di Rp 655/saham, dan titik tertinggi rebound di Rp 765/saham pada 12 November lalu.

Melihat Trend-Base Fibbonacci Extention, BUKA sempat berusaha rebound tetapi tertahan level 100%, dan kini berhasil ditutup di atas level supportnya di angka Rp 426/saham yang merupakan level terendah sepanjang sejarah sekaligus level fibonacci 138.2%.

Jika level support tersebut terlewati ada risiko BUKA akan terus merosot ke kisaran Rp 369/saham yang merupakan Trend-Base Fibbonacci Extention level 161,8% yang bisa menjadi support kuat.

Secara keseluruhan, melalui pendekatan teknikal setelah berhasil rebound dari supportnya maka pergerakan BUKA selanjutnya cenderung terapresiasi. Hal ini juga terkonfirmasi dengan indikator RSI yang sudah jenuh jual.

BUKA perlu melewati (break) salah satu level resistance atau support, untuk melihat arah pergerakan selanjutnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(RCI/RCI)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sempat Dibuka Hijau, IHSG Sempat Sentuh Rekor Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular