Waspada! Ada 'Ramalan' Pasar Saham Bakal Koreksi Tahun Depan

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
Selasa, 07/12/2021 08:04 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah analis ekuitas memprediksi saham global akan mengalami kenaikan moderat selama 12 bulan ke depan, sembari mengatakan adanya kemungkinan koreksi dalam 6 bulan mendatang.

Hal tersebut menjadi kesimpulan jajak pendapat Reuters yang dilakukan selama periode 15 November - 1 Desember 2021 terhadap 106 analis saham.

Akhir-akhir ini ketidakpastian seputar varian anyar virus corona (Covid-19) Omicron dan kemampuannya untuk menembus perlindungan vaksin menyebabkan aksi jual (sell-off) di pasar keuangan global pada Jumat dua pekan lalu.


Namun, beberapa analis memperhitungkan bahwa pelarian ke aset yang aman (safe assets) dan volatilitas perdagangan yang meningkat menunjukkan pasar mungkin sedang mengalami fase 'bergelombang' dalam jangka pendek.

Ketika ditanya apakah ada kemungkinan koreksi di pasar saham lokal mereka, sekitar tiga perempat responden--79 dari 106--dalam jajak pendapat global yang mencakup indeks saham utama di lebih dari selusin negara menjawab 'Ya'.


"Ke depan, kita terus melihat pasar naik, meskipun lebih moderat, di tengah pertumbuhan pendapatan [perusahaan] yang lebih baik dari perkiraan dengan berkurangnya guncangan pasokan," kata Dubravko Lakos-Bujas, kepala strategi ekuitas AS dan kepala penelitian kuantitatif global di JPMorgan Securities kepada Reuters.Pernyataan Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell pada Selasa lalu bahwa bank sentral AS akan membahas apakah akan mempercepat pengurangan program pembelian asetnya (tapering off) tampaknya tidak membantu kinerja aset berisiko.

"Risiko utama terkait pandangan kami adalah perubahan hawkish dalam kebijakan bank sentral, terutama jika dislokasi pascapandemi terus berlanjut," imbuh Dubravko.

Adapun jajak pendapat Reuters yang lebih luas dengan lebih dari 150 analis ekuitas di seluruh dunia menunjukkan, sebagian besar indeks saham akan memantul kembali (rebound) dari tren penurunan saat ini dan bakal menyentuh level tertinggi baru pada akhir 2022.

Dari 17 indeks saham utama yang disurvei, 10 indeks diperkirakan akan melampaui level tertinggi sepanjang masa selama 12 bulan ke depan, dengan 5 indeks mencapai rekor tersebut pada awal pertengahan 2022.

Kemudian, didorong oleh pendapatan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi AS, indeks saham acuan S&P 500 akan memperpanjang reli tahun ini dan naik 7,5% antara sekarang dan akhir 2022 ke posisi 4.910.

Lalu, indeks pan-Eropa STOXX 600 diperkirakan melesat 7% dan mencapai 500 poin pada Juli 2022, 10 poin di atas rekor tertinggi yang dicapai pada 17 November lalu.

Selanjutnya, indeks saham BSE Sensex India diperkirakan akan goyah dalam waktu dekat, tetapi diprediksi bakal menutup kerugiannya saat ini dan mencapai level tertinggi 63.000 pada akhir tahun depan.

Meskipun mencapai level tertinggi anyar, mayoritas dari 17 indeks global yang disurvei diperkirakan tidak akan mengulangi atau melampaui kinerja ciamik tahun ini pada tahun depan.

Didukung oleh prospek perusahaan yang solid, indeks saham Nikkei Jepang diprediksi akan mencapai level 31.000 pada Juni 2022, sekitar kenaikan 11% dari penutupan Selasa pekan lalu.

Ketika diminta untuk memberikan pandangan mereka tentang pendapatan perusahaan di pasar lokal mereka selama 6 bulan mendatang, lebih dari 85% ahli strategi ekuitas yang disurvei--79 dari 91--mengatakan mereka memperkirakan pendapatan perusahaan akan meningkat.

"Kami memperkirakan pendapatan [perusahaan] menjadi pendorong utama tingkat pengembalian investasi (return) saham global pada tahun 2022. Sejalan dengan ekspektasi pendapatan kami, kami memprediksi kenaikan return saham sebesar satu digit pada tahun 2022 dibandingkan dengan return dua digit pada tahun 2021," kata Philipp Lisibach, kepala ahli strategi global di Credit Suisse.

"Sejumlah tailwind lainnya untuk kelas aset ini ke depan mencakup pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, dan argumen 'tidak ada alternatif' (there is no alternative/TINA) untuk saham," tambah Philipp.

Dalam jargon bisnis, tailwind mengacu pada situasi atau kondisi tertentu yang dapat menghasilkan keuntungan, pendapatan, atau pertumbuhan yang lebih tinggi. Istilah tailwind jamak dipakai dalam industri penerbangan, yang berarti angin yang mendorong ekor (atau ujung belakang) pesawat, meningkatkan kecepatannya dan membantu pesawat melaju lebih cepat.

Sementara, melansir laman Investopedia, TINA adalah ungkapan yang berasal dari filsuf Inggris era Victoria Herbert Spencer dan kemudian menjadi slogan favorit Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pada 1980-an silam.

Saat ini, TINA sering digunakan oleh investor untuk menjelaskan alokasi portofolio yang kurang ideal, biasanya saham, lantaran kelas aset lain menawarkan tingkat pengembalian investor yang lebih buruk. Situasi tersebut bisa menyebabkan "Efek TINA" di mana kenaikan saham terjadi hanya karena investor tidak memiliki alternatif aset lain yang layak.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PHK Mengancam, Saham Ini Bisa Jadi Sumber Cuan Darurat