
Inflasi Makin Ngeri, Bursa Saham Amerika Hingga Asia Rontok!

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa bulan terakhir, inflasi yang tinggi di beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS) menjadi sorotan pelaku pasar. Bank sentral AS (The Fed) dan bank sentral lainnya sejauh ini melihat tingginya inflasi tersebut hanya sementara, dan akan berangsur melandai.
Nyatanya, inflasi yang tinggi malah semakin meninggi. Pasar saham dunia pun kerap kali berfluktuasi dan merosot, termasuk pada hari ini, Kamis (18/11). Bursa saham Asia mayoritas merosot, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang dimulai dari bursa saham AS (Wall Street).
Indeks Dow Jones memimpin pelemahan sebesar 0,58% ke 35.931,05, kemudian Nasdaq minus 0,33% ke 15.921,57, dan S&P 500 turun 0,26% ke 4.688,67.
Pelemahan kiblat bursa saham dunia tersebut merembet ke Asia. Indeks Hang Seng Hong Kong memimpin kemerosotan sebesar 1,36%, disusul Shanghai Composite 0,47%, Nikkei Jepang dan Kospi Korea Selatan masing-masing turun 0,3%.
IHSG hingga pukul 14:20 WIB melemah 0,7% ke 6.629,198.
Tingginya inflasi bermula dari kenaikan harga energi, kemudian masalah rantai pasokan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Banyak yang berpendapat ketika masalah rantau pasokan bisa diatasi, dan harga energi mulai turun, maka inflasi juga akan melandai.
Tetapi, hingga mendekati penghujung tahun ini inflasi malah semakin tinggi. Banyak analis melihat bank sentral terlalu "menyepelekan" kemungkinan inflasi tinggi akan terjadi berlanjutnya.
Pada Rabu pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.
Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Terbaru, Biro Statistik Inggris kemarin melaporkan inflasi PCI melesat 4,2% YoY di bulan Oktober dari bulan sebelumnya 3,1% YoY. Kenaikan tersebut bahkan lebih tinggi dari hasil polling Reuters yang memprediksi 3,9% YoY.
Inflasi Inggris di bulan Oktober menjadi yang tertinggi dalam satu dekade terakhir, tepatnya sejak November 2011.
Hal yang sama juga terjadi di zona euro, dimana inflasinya tumbuh 4,1% YoY lebih tinggi dari bulan September, dan jauh di atas target European Central Bank sebesar 2%.
Inflasi yang tinggi dapat memukul daya beli masyarakat, yang pada akhirnya berdampak negatif bagi perekonomian. Lebih jauh, jika pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan akibat turunnya daya beli masyarakat, maka akan terjadi stagflasi.
Di sisi lain, jika The Fed dan bank sentral lainnya "terpaksa" menaikkan suku bunga guna meredam inflasi, maka pemulihan ekonomi yang sedang berjalan bisa terganggu.
Artinya, inflasi yang tinggi saat ini memicu ketidakpastian yang membuat pasar saham global berfluktuasi dan kerap kali merosot.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Risiko Stagflasi China Semakin Membesar
