Inflasi Makin Ngeri, Bursa Saham Amerika Hingga Asia Rontok!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 November 2021 14:51
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa bulan terakhir, inflasi yang tinggi di beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS) menjadi sorotan pelaku pasar. Bank sentral AS (The Fed) dan bank sentral lainnya sejauh ini melihat tingginya inflasi tersebut hanya sementara, dan akan berangsur melandai.

Nyatanya, inflasi yang tinggi malah semakin meninggi. Pasar saham dunia pun kerap kali berfluktuasi dan merosot, termasuk pada hari ini, Kamis (18/11). Bursa saham Asia mayoritas merosot, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang dimulai dari bursa saham AS (Wall Street).

Indeks Dow Jones memimpin pelemahan sebesar 0,58% ke 35.931,05, kemudian Nasdaq minus 0,33% ke 15.921,57, dan S&P 500 turun 0,26% ke 4.688,67.

Pelemahan kiblat bursa saham dunia tersebut merembet ke Asia. Indeks Hang Seng Hong Kong memimpin kemerosotan sebesar 1,36%, disusul Shanghai Composite 0,47%, Nikkei Jepang dan Kospi Korea Selatan masing-masing turun 0,3%.

IHSG hingga pukul 14:20 WIB melemah 0,7% ke 6.629,198.

Tingginya inflasi bermula dari kenaikan harga energi, kemudian masalah rantai pasokan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Banyak yang berpendapat ketika masalah rantau pasokan bisa diatasi, dan harga energi mulai turun, maka inflasi juga akan melandai.

Tetapi, hingga mendekati penghujung tahun ini inflasi malah semakin tinggi. Banyak analis melihat bank sentral terlalu "menyepelekan" kemungkinan inflasi tinggi akan terjadi berlanjutnya.

Pada Rabu pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.

Terbaru, Biro Statistik Inggris kemarin melaporkan inflasi PCI melesat 4,2% YoY di bulan Oktober dari bulan sebelumnya 3,1% YoY. Kenaikan tersebut bahkan lebih tinggi dari hasil polling Reuters yang memprediksi 3,9% YoY.

Inflasi Inggris di bulan Oktober menjadi yang tertinggi dalam satu dekade terakhir, tepatnya sejak November 2011.

Hal yang sama juga terjadi di zona euro, dimana inflasinya tumbuh 4,1% YoY lebih tinggi dari bulan September, dan jauh di atas target European Central Bank sebesar 2%.

Inflasi yang tinggi dapat memukul daya beli masyarakat, yang pada akhirnya berdampak negatif bagi perekonomian. Lebih jauh, jika pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan akibat turunnya daya beli masyarakat, maka akan terjadi stagflasi.

Di sisi lain, jika The Fed dan bank sentral lainnya "terpaksa" menaikkan suku bunga guna meredam inflasi, maka pemulihan ekonomi yang sedang berjalan bisa terganggu.

Artinya, inflasi yang tinggi saat ini memicu ketidakpastian yang membuat pasar saham global berfluktuasi dan kerap kali merosot.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Risiko Stagflasi China Semakin Membesar

Pemerintah China pada pekan lalu melaporkan inflasi CPI naik 1,5% YoY di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.

Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.

Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.

"Kami khawatir inflasi di sektor produsen akan berdampak pada inflasi konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters.

"Risiko terjadinya stagflasi terus meningkat" tambah Zhiwei.

Stagflasi merupakan stagnannya pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan tingginya inflasi.

Meski risiko stagflasi di Indonesia masih kecil, tetapi jika hal tersebut terjadi di China maka dampaknya akan terasa ke dalam negeri. Apalagi, Indonesia juga banyak mengimpor dari China.

Tingginya inflasi juga disoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu ancaman yang dihadapi Indonesia.

"Kita paham ada tantangan yang kita waspadai," ujar Sri Mulyani usai menyampaikan hasil sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (17/11/2021).

"Untuk Indonesia harga di produsen mengalami kenaikan 7,3%. Kalau di Eropa kenaikan 16,3%, China 13,5%, dan di AS 8,6%, Korea Selatan 7,5%," jelasnya.

Dari inflasi tingkat produsen ini bisa merambat ke konsumen, sehingga bisa menggerus daya beli. Ketika daya beli masyarakat rendah, maka roda perekonomian juga akan melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular