
Inflasi Makin Ngeri, Bursa Saham Amerika Hingga Asia Rontok!

Pemerintah China pada pekan lalu melaporkan inflasi CPI naik 1,5% YoY di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.
Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.
Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.
"Kami khawatir inflasi di sektor produsen akan berdampak pada inflasi konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters.
"Risiko terjadinya stagflasi terus meningkat" tambah Zhiwei.
Stagflasi merupakan stagnannya pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan tingginya inflasi.
Meski risiko stagflasi di Indonesia masih kecil, tetapi jika hal tersebut terjadi di China maka dampaknya akan terasa ke dalam negeri. Apalagi, Indonesia juga banyak mengimpor dari China.
Tingginya inflasi juga disoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu ancaman yang dihadapi Indonesia.
"Kita paham ada tantangan yang kita waspadai," ujar Sri Mulyani usai menyampaikan hasil sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (17/11/2021).
"Untuk Indonesia harga di produsen mengalami kenaikan 7,3%. Kalau di Eropa kenaikan 16,3%, China 13,5%, dan di AS 8,6%, Korea Selatan 7,5%," jelasnya.
Dari inflasi tingkat produsen ini bisa merambat ke konsumen, sehingga bisa menggerus daya beli. Ketika daya beli masyarakat rendah, maka roda perekonomian juga akan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
