
Ada Hantu Stagflasi, Ini 3 Hal Penting untuk Investasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor global saat ini sedang khawatir dengan inflasi global yang sedang melonjak setelah digempur oleh pandemi virus corona (Covid-19) pada tahun lalu.
Bahkan, kekhawatiran investor bukan lagi tentang inflasi tinggi, melainkan stagflasi, istilah untuk fenomena ekonomi di mana harga naik (inflasi tinggi), tetapi aktivitas bisnis mengalami stagnasi, yang menyebabkan tingginya pengangguran dan berkurangnya daya beli konsumen.
Fenomena stagflasi pertama kali dikenali pada tahun 1970-an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan harga yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lama, tetapi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dunia turun tajam.
Demikian pula, harga energi telah melonjak baru-baru ini, berkontribusi terhadap kekhawatiran pasar akan inflasi yang tinggi.
Dalam laporan risetnya pada bulan lalu, bank investasi asal Amerika Serikat (AS), Morgan Stanley mencatat bahwa risiko stagflasi dapat menarik perhatian investor.
"Gangguan rantai pasokan global telah menyebabkan kekurangan pasokan di berbagai bidang seperti energi dan semikonduktor. Situasi ini dapat terjadi hingga tahun depan, yang kemungkinan akan menjaga tekanan inflasi tetap tinggi dalam jangka pendek," tulis analis Morgan Stanley dalam risetnya, dikutip dari CNBC International.
Stagflasi menghadirkan masalah bagi pembuat kebijakan ekonomi, karena langkah-langkah untuk mengekang inflasi seperti pengontrolan tingkat upah dan harga atau kebijakan moneter kontraktif dapat menyebabkan pengangguran makin meninggi.
Bank investasi lainnya, yakni Goldman Sachs pun juga memperingatkan pada Oktober lalu bahwa stagflasi bisa berdampak buruk bagi perdagangan pasar saham global.
Meskipun stagflasi kini menjadi 'momok' bagi pelaku pasar, tetapi mereka dapat menggunakan beberapa strategi untuk tetap aman melakukan investasi atau trading di saat terjadinya fenomena ekonomi ini.
Berikut beberapa pendekatan yang disarankan oleh para analis untuk diambil investor untuk memperkecil risiko dari fenomena stagflasi.
1. Gunakan Strategi 'Barbel'
Morgan Stanley mengatakan investor dapat mengadopsi strategi barbel dan memiliki saham dengan valuasi yang masih murah dengan arus kas bebas dan dividen tinggi.
Arus kas bebas merupakan ukuran profitabilitas, mewakili jumlah uang tunai yang dihasilkan perusahaan setelah memperhitungkan arus keluar untuk mendukung pengeluaran.
Morgan Stanley pun mengatakan bahwa strategi barbel dapat melakukan lindung nilai terhadap kemerosotan pasar. Strategi ini melibatkan overweight pada dua kelompok saham yang berbeda untuk melakukan lindung nilai terhadap ketidakpastian tentang langkah pasar selanjutnya.
Pendekatan barbel ini berlaku untuk dua ekstrem risiko tinggi dan investasi tanpa risiko, dalam mencoba mengangkangi keseimbangan antara risiko dan imbalan.
2. Beralih ke saham price setters dan hindari saham yang sedang bertumbuh.
Menurut Rob Mumford, manajer investasi ekuitas bagian pasar negara berkembang di Gam Investments mengatakan salah satu pendekatan yang paling baik adalah berinvestasi di perusahaan dalam produksi hulu.
"Kuncinya adalah memilih saham sektor hulu, bukan sektor hilir," kata Mumford, dilansir dari CNBC International.
Sektor hulu mengacu pada bahan input yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang, sedangkan sektor hilir adalah sektor yang lebih dekat dengan pelanggan, tempat di mana produk tersebut dibuat dan didistribusikan.
"Salah satu contoh sektor hulu adalah perusahaan semikonduktor," ujar Mumford.
Harga chip telah melonjak tahun ini karena kelangkaan global yang memengaruhi segala hal, mulai dari kendaraan hingga barang elektronik konsumen.
Mumford juga menyarankan agar investor berhati-hati pada saham-saham yang sedang tumbuh.
"Saya pikir saham pertumbuhan akan rentan, terutama jika tren inflasi mulai menanjak di atas ekspektasi," kata Mumford.
Saham pertumbuhan (growth share) adalah saham yang telah mengalami kenaikan pendapatan lebih cepat dari rata-rata dan diperkirakan akan terus meningkat.
3. Beralih ke value stock atau saham siklikal
Morgan Stanley mengatakan bahwa saham yang berbasis nilai () dan saham siklikal paling diuntungkan ketika ekspektasi inflasi naik.
Menurut Teodor Dilov, analis reksadana di platform investasi Inggris Interactive Investor, value stock adalah saham yang cenderung kurang dihargai oleh pasar (undervalued), dengan keyakinan bahwa nilai intrinsiknya akan bersinar dan di masa mendatang akan menghasilkan return yang mengesankan dalam jangka panjang.
Sedangkan saham siklikal adalah saham yang pergerakannya cenderung mengikuti siklus ekonomi, di mana naik-turun harganya cenderung dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi.
"Jika risiko stagflasi terus muncul, strategi 'perdagangan pembalikan' bisa menonjol dalam hal profitabilitas," kata Morgan Stanley.
"Ini akan memerlukan pembelian harga yang paling lambat dari bulan lalu, dan mengharapkan pembalikan harga di bulan berikutnya," tambah Morgan Stanley.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Morgan Stanley: Taper Tantrum 2013 Niscaya Tak Akan Terulang
