Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sepertinya sudah lelah 'bermain-main' dengan para obligor yang belum melunasi kewajibannya kepada negara. Satgas BLBI pun mulai bergerak cepat dan telah berhasil menyita sejumlah aset obligor dan debitur yang tidak kooperatif, salah satunya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan pihaknya tidak akan lagi melakukan tawar menawar terhadap obligor atau debitur yang terlibat di dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pemerintah, kata Mahfud harus bertindak secara adil, karena beberapa obligor/debitur sudah melunasi utang atau menyelesaikan kewajibannya kepada negara.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam, sekaligus Mahfud MD dalam konferensi pers, Senin (8/11/2021).
Hingga saat ini masih terdapat sejumlah pengusaha yang belum melunasi kewajiban utangnya kepada negara yang telah memberikan pinjaman dalam menghadapi krisis keuangan tepat sebelum rezim tangan besi penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme di era Presiden Soeharto resmi berakhir.
BLBI dan Niat Mulia Menyelamatkan Sistem Perbankan
Dengan dukungan militer dan keran modal asing atas nama komitmen terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, pemerintahan Presiden Soeharto selama bertahun-tahun membungkam oposisi yang dalam keberjalanannya ikut 'mematikan' persaingan politik.
Pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang selama ini melegitimasi rezim Soeharto tiba-tiba berakhir pada tahun 1998 setelah devaluasi mata uang Thailand memicu krisis moneter di seluruh Asia Tenggara.
Indonesia merupakan negara yang paling terpukul di mana rupiah melemah hingga 75 persen memicu keluarnya modal dari Indonesia dalam jumlah signifikan yang mengancam hancurnya perekonomian nasional. Melemahnya nilai rupiah dirasakan langsung oleh masyarakat dengan naiknya harga kebutuhan pokok.
Di tengah peningkatan tajam dalam kemiskinan, pengangguran dan inflasi, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui program IMF dengan berupa pinjaman darurat multi-miliar dolar. Sebagai bagian dari program ini, subsidi bahan bakar dan listrik dipotong. yang kemudian menimbulkan kericuhan dan demonstrasi yang berakhir dengan pengunduran diri Soeharto pada Mei 1998.
Krisis ekonomi juga menjadikan banyak perusahaan dan bank terpaksa bangkrut karena tingkat utang berdenominasi dolar yang sangat besar di luar kendali manajemen yang bisnis utamanya menggunakan rupiah.
Tutupnya sejumlah bank membuat masyarakat yang menyimpan uangnya di bank merasa tidak aman, dan berbondong-bondong menyerbu kantor bank untuk melakukan penarikan uang yang tentu akan menghancurkan sistem perbankan nasional jika kepanikan ini tidak diatasi pemerintah.
Demi menyelamatkan industri perbankan dan memberikan rasa aman kepada pada deposan pemerintah memberikan dana talangan demi menjaga likuiditas Bank dalam bentuk Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI merupakan dana darurat yang disuntik pemerintah kepada Bank Swasta dan BUMN pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998. Dana tersebut dibagikan oleh pemerintah setelah menutup 16 bank atas saran IMF pada tahun 1997 yang memicu serbuan para deposan Indonesia yang takut kehilangan tabungan mereka jika bank yang mereka gunakan ditutup.
Halaman Selanjutnya --> Relasi Politik dan Penyelewengan Dana BLBI
Selain utang pemerintah kepada IMF, utang domestik lain juga dipikul oleh bank BUMN yang banyak di antaranya adalah utang dalam denominasi dolar yang awalnya dilakukan karena cukup atraktif hingga akhirnya menjadi beban berat dalam pembayaran di tengah kondisi krisis.
Selanjutnya adalah utang bank swasta yang juga dalam denominasi dolar untuk menyuntik pendanaan kepada bisnis yang sebagian besar berada dalam satu grup yang sama dengan perbankan tersebut. Menyelamatkan bank swasta yang pinjamannya diberikan untuk membiayai bisnis dalam grup yang sama yang gagal membayar utangnya secara tidak langsung sama saja dengan pemerintah menyelamatkan para pengusaha dengan kekayaan signifikan yang telah memanfaatkan utang dolar dalam memperbesar kerajaan bisnisnya.
 Sumber: Lehman Brothers |
Beberapa waktu setelah krisis ekonomi, dalam upaya penagihan, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat itu menyatakan biaya BLBI yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 144,54 triliun, dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,444 triliun atau 95,78 persen dari total dana BLBI.
Jacqueline Hicks, menggunakan data yang dihimpun dari Tempo, Prospek dan Warta Ekonomi, dalam disertasinya untuk memperoleh gelar Ph.D di University of Leeds mengatakan BLBI menjadi kontroversial dan menuding bahwa sepuluh bankpenerima BLBI memiliki hubungan bisnis atau politik dan menerima 70 persen dari total jumlah yang dikeluarkan.
Salah satu di antaranya adalah bank milik anak mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal sebagai Tommy Soeharto. Hicks mengungkapkan Bank Pesona Utama milik Tommy memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp 2,33 triliun.
Secara rinci Kesepuluh bank yang disebutkan Hicks adalah sebagai berikut:
- BDNI milik Sjamsul Nursalim memperoleh Rp 37,04 triliun
- Bank BCA milik Liem Sioe Liong memperoleh 26,59 triliun
- Bank Danamon milik Usman Admadjaja memperoleh 23,05 triliun
- Bank Umum Nasional milik Bob Hasan dan Kaharudin Ongko memperoleh 12,06 triliun
- Bank Indonesia Raya perusahaan publik (Bambang Winarso) memperoleh Rp 4,02 triliun
- Bank Nusa Nasional milik Aburizal Bakrie memperoleh Rp 3,02 triliun
- Bank Tiara Asia perusahaan publik (HR Pandji M. Noe) memperoleh Rp 2,97 triliun
- Bank Modern milik Samadikun Hartono memperoleh Rp 2,55 triliun
- Bank Pesona Utama milik Hutomo Mandala Putra memperoleh 2,33 triliun
- Bank Asia Pacific memperoleh 2,05 triliun
Kesepuluh Bank tersebut memperoleh dana BLBI senilai total Rp 115,71 triliun.
Meskipun tujuan utama BLBI adalah untuk memastikan para deposan dapat memperoleh kembali tabungannya, Hick mengungkapkan bahwa dana tersebut banyak disalahgunakan oleh para pemilik bank yang menggunakannya untuk menuangkan ke dalam kerajaan bisnis mereka yang runtuh. Ada juga laporan pemilik bank yang menggunakan dana BLBI untuk spekulasi dolar dan mentransfernya ke luar negeri, sehingga memperparah devaluasi rupiah.
Halaman Selanjunya --> Beberapa Daftar Obligor BLBI
Lehman Brothers, sebelum resmi dinyatakan bangkrut akibat krisis ekonomi AS tahun 2008 lalu, merupakan penasihat pemerintah dalam upaya penyelesaian BLBI bersama JP Morgan.
Dalam salah studi tahun 2000 yang berjudul "Indonesian Banks Revived", Lehman Brothers mengatakan pada awal mula proses restrukturisasi bank, pemerintah memutuskan pada Juni 1998 untuk meminta auditor internasional menentukan kesanggupan pelunasan utang bank-bank Indonesia berdasarkan standar perbankan internasional. Setelah itu, bank-bank swasta Indonesia ditempatkan dalam tiga kategori berbeda berdasarkan rasio kecukupan modal mereka (CAR).
Kategori A Bank. Dengan CAR di atas 4%, bank-bank tersebut dinilai memiliki permodalan yang cukup sehingga tidak memerlukan tambahan dana dari pemerintah. Kategori B Bank, Bank-bank ini, dengan CAR antara negatif 25% dan positif 4%, memenuhi syarat untuk rekapitalisasi, asalkan memenuhi kriteria tertentu. Kategori C Bank, Bank dengan CAR kurang dari negatif 25% diberikan waktu 30 hari untuk memenuhi persyaratan permodalan menjadi Kategori B atau kegiatan usahanya ditutup.
Beberapa obligor yang telah dipanggil oleh Satgas BLBI temasuk dalam kategori B dan C. Berikut beberapa obligor besar lain selain Tommy Soeharto
Grup Dharmala
Laporan tersebut mmenyebutkan bahwa Grup Dharmala yang tersandung kasus BLBI adalah milik Keluarga Gondokusumo. Grup Dharmala memiliki fokus di beberapa sektor yakni jasa keuangan, properti dan agroindustri. Beberapa bank yang tergabung dalam grup tersebut adalah Bank Dharmala, Bank Sewu dan Bank Putra Surya Perkasa (PSP).
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa Grup Dharmala masuk dalam 20 obligor dengan utang terbesar, totalnya mencapai Rp 2,67 triliun.
Beberapa tokoh penting keluarga Gondokusumo adalah Suhargo Gondokusumo, Suyanto Gondokusumo, Hendro Gondokusumo dan Trijono Gondokusumo.
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, Keluarga Gondokusumo masuk dalam jajaran konglomerat papan atas Indonesia. Suhargo dan Hendro Gondokusumo memimpin Grup Dharmala. Sementara generasi keduanya, seperti Trijono membangun bisnis sendiri di bawah bendera Grup PSP. Usaha taipan ini maju di bisnis properti dan keuangan.
Nama Suyanto memang jarang didengar publik, tapi masih terdapat satu anggota keluarga Gondokusumo yang namanya masih aktif dibicarakan di pasar modal. Nama tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Hendro Gondokusumo, Direktur Utama emiten properti PT Intiland Development Tbk (DILD) yang juga salah satu pemegang saham mayoritas dan pengendali perusahaan.
Bank Aspac
Satgas BLBI sebelumnya juga telah melakukan panggilan penagihan kepada Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono atas tagihan sebesar Rp 3,57 triliun.
Keduanya yang dipanggil tersebut berkaitan dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) PT Bank Asia Pacific, yang mana ketika kasus BLBI berlangsung Setiawan menjabat sebagai direktur dan Hendrawan sebagai wakil direktur.
Jacqueline Hicks juga mengatakan bahwa terdapat beberapa bank lain tergabung dalam Grup Aspac juga menerima bantuan BLBI yakni Bank Danpac, Bank Hastin Internasional, Bank Kharisma, Bank Patriot dan Bank Uppindo.
Berdasarkan laporan Lehman Brothers, Bank Aspac sendiri masuk ke dalam kategori C dengan CAR mencapai negatif 40,4%.
Berdasarkan pemberitaan CNN Indonesia tahun 2016 silam, hingga saat ini telah ada beberapa pejabat bank umum yang ditahan atas kasus BLBI. Termasuk diantaranya adalah Setiawan Harjono dan Hendrawan Haryono, sementara beberapa yang lain termasuk Supari Dhirdjoprawiro (Bank Ficorinvest), S. Soemeri (Bank Ficorinvest), Hendri Sunardyo (South East Asia Bank), dan Jemi Sutjiawan (South East Asia Bank). Nama-nama terpidana tersebut menjalani hukuman dengan rentang waktu antara 8 bulan hingga 5 tahun.
TIM RISET CNBC INDONESIA