Kapitalisasi Pasar Rp 100 T

Market Cap Unilever Gak Gerak, Chandra Asri Menguap Rp 9 T

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
08 November 2021 11:35
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Melemahnya IHSG pada pekan lalu kembali memperlebar jarak dengan rekor tertinggi sepanjang masanya yang nyaris dipecahkan pertengahan pekan lalu ketika IHSG reli di zona hijau dalam lima hari perdagangan beruntun. Untuk diketahui rekor tertinggi sepanjang masa 6.693,466 yang dicapai pada 20 Februari 2018.

Mengawali bulan November, performa indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut memang kurang oke, karena sepanjang bulan Oktober, IHSG sudah mengalami kenaikan cukup signifikan. Secara musiman IHSG juga cenderung memberikan return bulanan negatif pada November dalam satu dekade terakhir.

Selain itu sentimen pasar yang hadir juga kurang mendukung. investor sepertinya perlu mewaspadai ancaman baru selepas pandemi virus corona (Covid-19), seperti krisis energi, gangguan rantai pasokan, dan pengetatan kebijakan moneter.

Peningkatan permintaan ternyata tidak bisa berjalan seiring dengan tambahan pasokan. Apalagi krisis energi melanda berbagai negara, sehingga menghambat proses produksi. Selain kebijakan moneter negara adidaya juga turut mempengaruhi pergerakan pasar modal.

Pekan lalu di China, terjadi keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, plus krisis energi membuat biaya produksi membengkak. Inflasi di tingkat produsen (producer price index/PPI) China pun melonjak tajam. Inflasi yang tinggi akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Risiko stagflasi pun kian nyata.

Sentimen selanjutnya datang dari Amerika Serikat (AS), menyusul pengumuman bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan melaksanakan pengurangan pembelian obligasi atau tapering pada akhir bulan ini sebesar US$ 15 miliar per bulan secara bertahap hingga pertengahan tahun 2022.

Namun sepertinya, pasar tidak bereaksi negatif seperti pada tahun 2013 silam. Bahkan pasar saham Negeri Paman Sam (Wall Street) justru ditutup menguat setelah pengumuman tersebut.

Kenaikan harga saham di Wall Street tersebut menjadi katalis positif bagi IHSG yang menguat pada penutupan perdagangan Rabu (3/11/2021) dan Kamis (4/11/2021). Selain itu pasar juga sebenarnya sudah mengantisipasi adanya tapering.

Terakhir dan yang paling anyar adalah sentimen negatif yang datang dari dalam negeri, memaksa IHSG melemah pada penutupan perdagangan Jumat (5/11/2021) akhir pekan lalu.

IHSG gagal mempertahankan penguatannya karena investor cenderung merespons negatif dari data pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal III-2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi RI tumbuh 3,51% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal III-2021, lebih rendah dari median proyeksi pasar yang dihimpun CNBC Indonesia di 3,61% (yoy).

Perlambatan pertumbuhan tersebut dipicu oleh adanya pengetatan aktivitas masyarakat akibat serangan gelombang kedua virus corona (Covid-19) yang terjadi di bulan Juli-Agustus lalu. Hal tersebut tercermin dari penurunan mobilitas publik di berbagai tempat.

Dampak dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat terhadap sektor manufaktur jelas terasa. Di bulan Juli dan Agustus saja, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) manufaktur Indonesia tercatat mengalami kontraksi. Artinya pembacaan angka PMI berada di bawah 50.

Sementara itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga ambles ke bawah 100 yang mengindikasikan sikap konsumen yang pesimis. Indeks Penjualan Riil yang mencerminkan sektor ritel di kuartal III juga menurun.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular