Geger Tapering, Apakah Investor Saham Harus Cemas?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) telah mengumumkan kebijakan pengurangan nilai (tapering off) pembelian obligasi pemerintah, yang akan dimulai pada bulan November ini.
Kebijakan ini sudah disampaikan oleh The Fed jauh-jauh hari dan sudah masuk risiko yang diperhitungkan oleh investor. Lantas, bagaimana dampaknya isu tapering kepada pasar modal tanah air dan bagaimana strategi investasi di akhir tahun ini?
Head of Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Roger mengungkapkan, dampak tapering terhadap pasar saham di Indonesia dinilai tidak akan terlalu signifikan.
Pasalnya, investor cenderung lebih mencermati laporan keuangan di kuartal ketiga dan data perekonomian domestik yang mulai menunjukkan pemulihan seperti indeks PMI Indonesia yang berada di level tertinggi 57,2.
"Dampak tapering tidak terlalu signfikan bagi market Indonesia. Kalau terjadi capital outflow tidak berdampak signifkan bagi IHSG," ungkap Roger, Kamis (4/11/2021).
Roger menambahkan, pada akhir tahun, kemungkinan besar investor cenderung melakukan window dressing dan data ekonomi yang membaik. Oleh sebab itu, Mirae Sekuritas belum mengubah target proyeksi IHSG sampai dengan akhir tahun di level 6.880.
Pada November ini, Mirae Asset merekomendasikan saham pilihan pada tiga sektor besar. Pertama, di sektor keuangan yakni, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Saham-saham the big four diyakini masih akan berpotensi tumbuh seiring dengan kinerja apik di kuartal ketiga.
Lalu, di sektor industri, pilihan Mirae tertuju pada saham PT Astra International Tbk (ASII) dan PT United Tractors Tbk (UNTR). Saham di sektor inudstri, terutama otomotif kembali prospektif seiring dengan naiknya penjualan otomotif Grup Astra yang naik 79% dengan market share 55% secara nasional.
Kemudian, di sektor infrastruktur, Mirae merekomendasikan saham di sektor telekomunikasi dan menara telekomunikasi, antara lain, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Indosat Tbk (ISAT), PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR). Sentimen di sektor ini juga masih prospek dengan rencana IPO Mitratel dan beberapa aksi korporasi terkait rencana merger dan akuisisi.
Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menyampaikan, di masa tapering, Bahana melihat potensi investasi saham akan mampu mengalahkan obligasi.
Meskipun, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir, SBN indeks sudah mengalahkan IHSG, saat ini potensi kenaikan SBN cenderung terbatas dengan risiko tapering.
"Ini kesempatan investasi saham mengalahkan obligasi," katanya kepada CNBC Indonesia.
Dia menilai, Indeks harga Saham Gabungan di akhir tahun 2021 ini akan mendekati level 7.000. Hal ini akan ditopang masih derasnya aliran dana asing dengan posisi Rupiah yang stabil didorong oleh peningkatan ekspor dan kenaikan harga komoditas.
Namun demikian, pengendalian neraca transaksi berjalan masih menjadi pekerjan rumah besar Indonesia karena erat kaitannya posisi Rupiah dan minat asing ke pasar domestik.
(hps/hps)