Jeblok Terus Jelang Tapering, Awas Rupiah ke Rp 15.000/US$?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 November 2021 15:27
Dollar
Foto: REUTERS/Shohei Miyano

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurang dari 12 jam ke depan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneternya. Rupiah sudah mulai merespon sejak awal pekan ini, dan terus mengalami pelemahan melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan Rabu (3/11), rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.270/US$. Sempat berbalik stagnan, rupiah kemudian berbalik melemah lagi hingga 0,42% ke Rp 14.310. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 1 Oktober lalu. 

Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.205/US$ melemah 0,32% di pasar spot. Artinya, Mata Uang Garuda kini sudah melemah 3 hari beruntun, dengan persentase 0,92%.

The Fed diperkirakan akan mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) pada Kamis (4/11) dini hari waktu Indonesia.

Tapering yang akan dilakukan The Fed diprediksi membuat rupiah melemah ke Rp 15.000/US$, tetapi sekali lagi tidak akan separah 2013.

Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021).

"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid-19 yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.

Tahun 2013 menjadi situasi yang suram bagi perekonomian Indonesia. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Tetapi kali ini situasinya berbeda, fundamental di dalam negeri sudah jauh lebih bagus.

Bank Indonesia (BI) punya cadangan devisa yang cukup besar untuk menstabilkan rupiah.

idr

Pada September 2021, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 146,9 miliar. Melesat US$ 2,1 miliar dari Agustus 2021 dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Kemudian kepemilikan asing atas obligasi Indonesia saat ini juga jauh lebih kecil sekitar 23% dibandingkan tahun 2013 yakni 40%. Artinya ketika capital outflow yang terjadi saat tapering dimulai tidak akan sebesar 2013.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Sudah Diantisipasi, Rupiah Punya Peluang Menguat?

Pasar saat ini juga sudah mengantisipasi tapering kali ini, sebab The Fed sudah menyampaikannya jauh-jauh hari. Berbeda dengan tahun 2013, ketika pengumuman tapering membuat pasar terkejut dan memicu gejolak yang disebut taper tantrum.

The Fed hampir pasti akan mengumumkan tapering, tetapi seberapa agresif masih belum diketahui. Pasar saat ini memprediksi tapering akan sebesar US$ 15 miliar setiap bulan dari level saat ini US$ 120 miliar per bulan. Sehingga perlu waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol atau selesai.

Meski demikian, pelaku pasar masih menanti kepastian seberapa agresif The Fed akan melakukan tapering, dan apakah ada peluang suku bunga dinaikkan tahun depan.

Karena pasar sudah menakar terjadinya tapering, tidak menutup kemungkinan rupiah bisa menguat jika The Fed tidak agresif dalam melakukan tapering dan mengindikasikan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Ketua The Fed, Jerome Powell, sebelumnya mengindikasikan tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.

"Saya berfikir sekarang saatnya melakukan tapering, saya tidak berfikir sekarang saatnya menaikkan suku bunga," kata Powell dalam konferensi virtual Jumat (23/10), sebagaimana diwartakan Reuters.

Powell menyatakan saat ini ada 5 juta tenaga kerja yang masih belum terserap seperti sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia.

"Kami pikir kami bisa bersabar (untuk menaikkan suku bunga) dan membiarkan pasar tenaga kerja pulih," tambahnya.

Pernyataan Powell sedikit berbeda dengan mayoritas koleganya di The Fed.

Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.

Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.

Sehingga pasar akan sangat memperhatikan sinyal kenaikan suku bunga selain juga tapering.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular