Internasional

Makin Ngeri! 'Hantu' Stagflasi Bergentayangan di China

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
03 November 2021 06:15
Xi Jinping. (REUTERS/Jason Lee)
Foto: Xi Jinping. (REUTERS/Jason Lee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Para ekonom global menilai China bakal mengalami stagflasi seiring dengan sejumlah tanda-tanda stagflasi di ekonomi Tiongkok yang sudah mulai terlihat saat ini.

Ekonomi yang melambat tetapi inflasi tinggi inilah yang dikenal dengan istilah stagflasi dan menjadi 'mimpi buruk' bagi china, karena pelaku ekonomi harus membayar mahal demi pertumbuhan ekonomi yang biasa saja.

"Sinyal-sinyal ini mengonfirmasi bahwa ekonomi China kemungkinan sudah mengalami stagflasi," kata Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management Zhang Zhiwei dikutip dari CNBC International, Rabu (3/11/2021).

"Kita dengan jelas dapat melihat ... stagflasi industri di China karena indeks output yang menguat dan pada saat yang sama terjadi peningkatan yang kuat dalam indeks harga. Jadi, sektor industri jelas berada dalam situasi yang sangat sulit," ujar Kepala Ekonom China di ANZ, Raymound Yeung.

Stagflasi adalah istilah yang pertama kali digunakan politisi Inggris, Macleod, di tengah ekonomi yang mengalami tekanan kala itu. Ini mengindikasikan momen ketika perekonomian secara bersamaan stagnan dan dalam waktu yang sama terjadi kenaikan inflasi.

Fenomena ini digunakan juga tahun 1970-an di AS. Kala itu terjadi krisis bahan bakar saat AS mengalami pertumbuhan negatif selama lima kuartal berturut-turut

Biaya Bengkak

Kasus China sendiri juga memperlihatkan hal demikian. Keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, plus krisis energi membuat biaya produksi membengkak.

Inflasi tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) China pun melonjak tajam. Pada September 2021, PPI China mencapai 10,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi setidaknya sejak 1996.

Saat tekanan inflasi mulai terasa, output perekonomian malah melambat. Ini terlihat dari aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers' Index (PMI).

Biro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan PMI manufaktur periode Oktober 2021 adalah 49,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,6, sekaligus jadi terendah sejak Februari 2020.

Perlu diketahui, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di bawah 50 berarti dunia usaha sedang berada di fase kontraksi, tidak ada ekspansi.

Padahal, manufaktur di China memiliki peranan yang sangat vital bagi perekonomian. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata sektor ini menyumbang 29,06% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto.

Tanda-tanda stagflasi makin terlihat di China. Harga barang di negeri itu terus naik sementara data manufaktur menunjukkan produksi melambat.

Dalam sebuah survei resmi yang dirilis Minggu (31/10/2021), aktivitas pabrik China berkontraksi lebih dari yang diramalkan pada Oktober atau menyusut kembali untuk kedua kalinya.

Sementara Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur sebagaimana disebut di atas masih berada di 49,2 di bulan yang sama, turun di bawah 50, yang artinya investasi melambat.

Output pabrik tertahan oleh krisis energi yang menyebabkan berkurangnya pasokan listrik. Belum lagi minimnya bahan pasokan dan biaya input yang tinggi.

"Ini mengakibatkan perusahaan harus mengurangi persediaan mereka lebih jauh dan menghadapi waktu pengiriman yang lebih lama. Lebih khusus lagi, kekurangan ini dan kenaikan harga bahan baku mendorong harga output yang lebih tinggi," kata Asisten Ekonom Capital Economics, Sheana Yue.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Tertekan Pekan Ini, Apa Biang Keladinya?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular