IHSG Sepekan

IHSG Tertekan Pekan Ini, Apa Biang Keladinya?

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
06 November 2021 11:10
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih belum mampu kembali berada di level psikologis 6.600 setelah dalam sepekan IHSG tiga hari di tutup di zona merah.

Dalam sepekan, IHSG tercatat melemah 0,15% ke level 6,581.78. Investor asing masih melakukan aksi beli bersih di pekan ini tetapi angkanya kembali mengalami penurunan. Data pasar mencatat net buy sepakan ini sebesar Rp 607,92 miliar di pasar reguler. Sementara pekan lalu tercatat sebesar Rp 743 miliar dan dua pekan lalu Rp 4,89 triliun.

Melemahnya IHSG tersebut kembali memperlebar jarak dengan rekor tertinggi sepanjang masa yang nyaris dipecahkan pertengahan pekan lalu ketika IHSG reli di zona hijau dalam lima hari perdagangan beruntun. Untuk diketahui rekor tertinggi sepanjang masa 6.693,466 yang dicapai pada 20 Februari 2018, bukanya dipecahkan IHSG justru jeblok.

Mengawali bulan November, performa indeks memang kurang oke. Sepanjang bulan Oktober IHSG sudah mengalami kenaikan cukup signifikan. Secara musiman IHSG juga cenderung memberikan return bulanan negatif pada November dalam satu dekade terakhir.

Selain itu sentimen juga kurang mendukung. investor sepertinya perlu mewaspadai ancaman baru selepas pandemi virus corona. Peningkatan permintaan ternyata tidak bisa berjalan seiring dengan tambahan pasokan. Apalagi krisis energi melanda berbagai negara, sehingga menghambat proses produksi. Selain kebijakan moneter negara adidaya juga turut mempengaruhi pergerakan pasar modal.

Pekan ini di China terjadi keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, plus krisis energi membuat biaya produksi membengkak. Inflasi tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) China pun melonjak tajam. Inflasi yang tinggi akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Risiko stagflasi pun kian nyata.

Sentimen selanjutnya pekan ini datang dari AS, menyusul pengumuman The Fed yang akan melaksanakan tapering akhir bulan ini dengan menekan laju injeksi likuiditas, berkuranya pembelian surat berharga sebesar US$ 15 miliar per bulan.

Namun sepertinya pasar tidak bereaksi negatif seperti pada tahun 2013 silam. Bahkan pasar saham Negeri Paman Sam (Wall Street) justru ditutup menguat setelah pengumuman tersebut. NASDAQ dan S&P 500 tercatat menguat dalam 3 hari terakhir perdagangan pekan ini, adapun Dow Jones hanya melemah pada perdagangan Kamis (4/11).

Kenaikan harga saham di Wall Street tersebut menjadi katalis positif bagi IHSG yang menguat pada penutupan perdagangan hari Rabu dan Kamis. Selain itu pasar juga sebenarnya sudah mengantisipasi adanya tapering.

Terakhir dan yang paling anyar adalah sentimen negatif yang datang dari dalam negeri, memaksa IHSG melemah pada penutupan perdagangan Jumat (5/11) kemarin.

IHSG gagal mempertahankan penguatannya karena investor cenderung merespons negatif dari data pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal III-2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi RI tumbuh 3,51% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal III-2021, lebih rendah dari median proyeksi pasar yang dihimpun CNBC Indonesia di 3,61% (yoy).

Perlambatan pertumbuhan tersebut dipicu oleh adanya pengetatan aktivitas masyarakat akibat serangan gelombang kedua virus corona (Covid-19) yang terjadi di bulan Juli-Agustus lalu. Hal tersebut tercermin dari penurunan mobilitas publik di berbagai tempat.

Dampak dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat terhadap sektor manufaktur jelas terasa. Di bulan Juli dan Agustus saja, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) manufaktur Indonesia tercatat mengalami kontraksi. Artinya pembacaan angka PMI berada di bawah 50.

Sementara itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga ambles ke bawah 100 yang mengindikasikan sikap konsumen yang pesimis. Indeks Penjualan Riil yang mencerminkan sektor ritel di kuartal III juga menurun.

Adapun tiga saham yang mengalami peningkatan terbesar pekan ini adalah PT Wahana Pronatural Tbk (WAPO) naik 220,99% ke level Rp 260 per saham, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) naik 77,62% ke level Rp 410/saham dan PT Trimitra Prawara Goldland Tbk (ATAP) naik 70,69% ke level Rp 198 per saham.

Sedangkan tiga saham yang mengalami penurunan terbesar pekan ini adalah PT Trimegah Karya Pratama Tbk (UVCR) turun 19,25% ke level Rp 432 per saham, PT Pakuan Tbk (UANG) turun 17,94% ke level Rp 915/saham dan PT Global Sukses Solusi Tbk (RUNS) turun 16,04% ke level Rp 356 per saham.

Deretan saham gainers dan losers dalam sepekanFoto: BEI
Deretan saham gainers dan losers dalam sepekan

(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tembus Level 6.200, IHSG Berhasil Menguat Sepekan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular