Analisis

Derita Properti China: Aset Disita, Rating Turun, Saham Drop!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
01 November 2021 06:50
Kendaraan melewati bangunan tempat tinggal yang belum selesai dari Evergrande Oasis, kompleks perumahan yang dikembangkan oleh Evergrande Group, di Luoyang, Cina 16 September 2021. (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan-perusahaan pengembang properti China bertubi-tubi mengalami tekanan dalam sebulan terakhir di Oktober lalu. Harga saham dan obligasi mereka jatuh di pasar modal, para kreditor pun mulai menyita aset dan parahnya lagi lembaga pemeringkat global ramai-ramai memangkas rating perusahaan.

Investor pun masih mawas jelang batas waktu pembayaran utang China Evergrande Group pada Jumat lalu (29/10). Evergrande Group adalah 'pembuka' awal geger gagal bayar raksasa properti China atas pembayaran kupon surat utang (obligasi) global.

Kemudian, tekanan paling parah dialami oleh saham Kaisa Group, perusahaan properti China, yang kehilangan hampir seperlima kapitalisasi pasarnya di Bursa Hong Kong, setelah lembaga pemeringkat menurunkan rating perusahaan dan menyoroti akses terbatas terhadap pendanaan dan besarnya utang dalam dolar AS.

Dilansir Reuters, dikutip Senin ini (1/11/2021), saham Kaisa turun sebanyak 19,9% ke level terendah sepanjang masa di HK$ 1,17 pada Kamis (28/10), sementara harga obligasinya yang jatuh tempo April 2022 ambles 11,25%, turun lebih dari 8 basis poin (bps) sehingga yield (imbal hasil) naik dan diperdagangkan kurang dari 35% dari nilai nominalnya, menurut data Duration Finance.

Pada Jumat pekan lalu, sahamnya naik tapi masih berada di level rendah, HK$ 1,20/saham. Padahal di akhir Mei lalu, harganya masih di level tinggi HK$ 3,72/saham.

Kaisa memimpin penurunan saham di sektor real estate pada Kamis pekan lalu itu. Indeks Hong Kong yang berisi perusahaan properti China daratan (Hang Seng Mainland Properties Indeks/HSMPI) turun 1,3% dan sub-indeks CSI300 Real Estate anjlok 2,3%.

Sementara itu saham Evergrande Group turun lebih dari 5% di Kamis pekan lalu, dengan tenggat waktu akhir pada pembayaran kupon senilai U$ 47,5 juta atau setara Rp 675 miliar (kurs Rp 14.200/US$) dengan akan jatuh tempo pada, Jumat (29/10).

Di Jumat pekan lalu itu, saham Evergrande berkode 3333 di Bursa Hong Kong ambles 3,73% di HK$ 2,32/saham, bandingkan pada awal Agustus di HK$ 6,33/saham dan level tertinggi di 19 Januari silam yakni HK$ 17,26/saham.

Kegagalan untuk melakukan pembayaran bunga itu, kurang dari seminggu setelah mengamankan US$ 83,5 juta atau setara Rp 1,2 triliun untuk pembayaran menit terakhir pada kupon sebelumnya, akan menyebabkan perusahaan secara resmi mengalami gagal bayar (default) dan memicu cross-default pada semua obligasi senilai lebih dari US$ 19 miliar atau setara Rp 270 triliun di pasar global.

Kesulitan yang dialami Evergrande memperparah tekanan likuiditas bagi pengembang di sektor properti China yang bernilai US$ 5 triliun atau sekitar Rp 71.000 triliun.

Tak hanya Evergrande, derita juga dialami pengembang lain yang menambah indikasi tekanan sektor properti Tiongkok yang lebih luas. Kali ini, pengembang Oceanwide Holdings Co Ltd mengatakan pada Kamis lalu bahwa para pemegang utang perusahaan (yang diterbitkan oleh dua unit bisnis luar negerinya) telah menyita aset perusahaan yang dijadikan agunan setelah anak usahanya gagal membayar kembali surat utang global senior.

NEXT: Ramai-ramai Rating Dipangkas

Derita yang sama dialami pengembang lain. Yango Group Co, yang memiliki obligasi dolar lebih dari US$ 14 miliar atau setara Rp 199 triliun, menjadi pengembang terbaru yang terkena penurunan peringkat kredit pada Kamis lalu (28/10), karena Fitch memangkas peringkatnya menjadi "B-".

Fitch menyatakan alasannya karena akses pendanaan perusahaan mulai melemah dan meningkatnya tekanan likuiditas.

Pada Rabu lalu (27/10), baik S&P Global maupun Fitch Ratings menyatakan adanya kekhawatiran atas beban utang Kaisa dan memangkas peringkat perusahaan menjadi "CCC+".

S&P mengatakan struktur modal Kaisa tidak berkelanjutan mengingat jatuh tempo utang jangka pendek perusahaan yang cukup besar, likuiditas yang melemah, dan arus kas yang tidak memadai hingga 2022.

Fitch mencatat bahwa tidak semua kas di neraca Kaisa dapat digunakan untuk membayar utangnya "mengingat adanya komitmen proyek."

Kaisa menghadiri pertemuan pada Selasa (26/10) bersama dengan tujuh pengembang lainnya, otoritas China dan juga regulator valuta asing, mencari jalan keluar dan usaha untuk menahan dampak dari Evergrande.

Beberapa pengembang mengusulkan perpanjangan jatuh tempo obligasi luar negeri dan melakukan restrukturisasi utang.

Data Refinitiv menunjukkan Kaisa memiliki 19 obligasi dolar yang beredar senilai lebih dari US$ 12 miliar atau sekitar Rp 170 triliun, dengan obligasi US$ 400 juta atau Rp 5,68 triliun akan jatuh tempo pada Desember.

Obligasi lainnya senilai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 43 triliun akan jatuh tempo pada tahun 2022, serta pembayaran bunga sekitar US$ 1 miliar atau Rp 14,2 triliun, ungkap Fitch.

Pemerintah China tetap Bergeming?

Meskipun kondisi yang terjadi saat ini cukup parah, secara teori otoritas China dapat mengarahkan badan usaha milik negara (BUMN) untuk tujuan ekonomi dan politik. Akan tetapi dalam praktiknya, mereka juga mengadopsi pendekatan regulasi yang cukup panjang.

Krisis ini juga akan menguji tekad pejabat China yang sebelumnya dikenal cepat turun tangan untuk menyelamatkan raksasa yang sedang sakit parah seperti Evergrande.

Meskipun Bank Sentral China juga sudah berjanji untuk menyelesaikan krisis likuiditas ini dan mengakhiri kebiasaan meminjam di sektor properti, kondisi pasar properti masih belum membaik, kebijakan final dan kondisi nyata di lapangan masih belum jelas.

Otoritas China sepertinya masih berada di persimpangan antara tetap berada di koridor tegas dengan tindakan keras kepada pengembang properti yang sejalan dengan visi kesejahteraan bersama Presiden Xi Jinping, atau melunak dan menyelamatkan deretan perusahaan sakit.

Jika pemerintah turun tangan menyelamatkan, banyak yang merasa akan terdapat moral hazard yang membuat perusahaan tidak memperbaiki tata kelola. Namun efek jera yang diharapkan oleh pemerintah yang memilih untuk tidak terlalu terlibat tentu juga memiliki konsekuensi yang sangat signifikan.

Jika pihak berwenang membiarkan Evergrande dkk gagal, mereka dapat merugikan sekitar 1 juta pembeli rumah yang telah membeli apartemen dari perusahaan seperti Evergrande dan sedang menunggu untuk dibangun.

Keruntuhan ini juga akan berdampak parah kepada pekerja konstruksi dan subkontraktor yang menunggu untuk dibayar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular