
Derita Properti China: Aset Disita, Rating Turun, Saham Drop!

Derita yang sama dialami pengembang lain. Yango Group Co, yang memiliki obligasi dolar lebih dari US$ 14 miliar atau setara Rp 199 triliun, menjadi pengembang terbaru yang terkena penurunan peringkat kredit pada Kamis lalu (28/10), karena Fitch memangkas peringkatnya menjadi "B-".
Fitch menyatakan alasannya karena akses pendanaan perusahaan mulai melemah dan meningkatnya tekanan likuiditas.
Pada Rabu lalu (27/10), baik S&P Global maupun Fitch Ratings menyatakan adanya kekhawatiran atas beban utang Kaisa dan memangkas peringkat perusahaan menjadi "CCC+".
S&P mengatakan struktur modal Kaisa tidak berkelanjutan mengingat jatuh tempo utang jangka pendek perusahaan yang cukup besar, likuiditas yang melemah, dan arus kas yang tidak memadai hingga 2022.
Fitch mencatat bahwa tidak semua kas di neraca Kaisa dapat digunakan untuk membayar utangnya "mengingat adanya komitmen proyek."
Kaisa menghadiri pertemuan pada Selasa (26/10) bersama dengan tujuh pengembang lainnya, otoritas China dan juga regulator valuta asing, mencari jalan keluar dan usaha untuk menahan dampak dari Evergrande.
Beberapa pengembang mengusulkan perpanjangan jatuh tempo obligasi luar negeri dan melakukan restrukturisasi utang.
Data Refinitiv menunjukkan Kaisa memiliki 19 obligasi dolar yang beredar senilai lebih dari US$ 12 miliar atau sekitar Rp 170 triliun, dengan obligasi US$ 400 juta atau Rp 5,68 triliun akan jatuh tempo pada Desember.
Obligasi lainnya senilai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 43 triliun akan jatuh tempo pada tahun 2022, serta pembayaran bunga sekitar US$ 1 miliar atau Rp 14,2 triliun, ungkap Fitch.
Pemerintah China tetap Bergeming?
Meskipun kondisi yang terjadi saat ini cukup parah, secara teori otoritas China dapat mengarahkan badan usaha milik negara (BUMN) untuk tujuan ekonomi dan politik. Akan tetapi dalam praktiknya, mereka juga mengadopsi pendekatan regulasi yang cukup panjang.
Krisis ini juga akan menguji tekad pejabat China yang sebelumnya dikenal cepat turun tangan untuk menyelamatkan raksasa yang sedang sakit parah seperti Evergrande.
Meskipun Bank Sentral China juga sudah berjanji untuk menyelesaikan krisis likuiditas ini dan mengakhiri kebiasaan meminjam di sektor properti, kondisi pasar properti masih belum membaik, kebijakan final dan kondisi nyata di lapangan masih belum jelas.
Otoritas China sepertinya masih berada di persimpangan antara tetap berada di koridor tegas dengan tindakan keras kepada pengembang properti yang sejalan dengan visi kesejahteraan bersama Presiden Xi Jinping, atau melunak dan menyelamatkan deretan perusahaan sakit.
Jika pemerintah turun tangan menyelamatkan, banyak yang merasa akan terdapat moral hazard yang membuat perusahaan tidak memperbaiki tata kelola. Namun efek jera yang diharapkan oleh pemerintah yang memilih untuk tidak terlalu terlibat tentu juga memiliki konsekuensi yang sangat signifikan.
Jika pihak berwenang membiarkan Evergrande dkk gagal, mereka dapat merugikan sekitar 1 juta pembeli rumah yang telah membeli apartemen dari perusahaan seperti Evergrande dan sedang menunggu untuk dibangun.
Keruntuhan ini juga akan berdampak parah kepada pekerja konstruksi dan subkontraktor yang menunggu untuk dibayar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
