Review

Bakal Ditantang Mitratel, Ini Lho Saham-saham Menara Tercuan!

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
27 October 2021 08:55
Dok Mitratel
Foto: Dok Mitratel

Jakarta, CNBC Indonesia - Subsektor menara telekomunikasi akan kedatangan 'pemain baru' dari Grup Telkom, PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), yang diprediksi bakal semakin meramaikan persaingan di lini bisnis ini ke depan.

Mitratel dijadwalkan akan melantai di bursa pada 22 November mendatang dan menargetkan perolehan dana dari masa penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) ini hingga Rp 24,90 triliun.

Jika terealisasi dengan harga maksimal Rp 975 dari range Rp 775-Rp 975/saham, maka ini akan menjadi yang terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI), mengalahkan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) Rp 22 triliun di 6 Agustus silam.

Di tengah rencana 'manggung' Mitratel, salah satu raksasa menara pun sedang melakukan konsolidasi.

Emiten tersebut adalah PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) milik Grup Djarum yang pada awal bulan ini resmi mengakuisisi 94,03% saham emiten menara lainnya, PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) atau STP, dengan nilai transaksi Rp 16,73 triliun.

Lantas, bagaimana dengan kinerja saham-saham emiten menara sepanjang tahun ini?

Kinerja 5 Besar Saham Emiten Menara Telekomunikasi

Emiten

Kode Ticker

Harga Terakhir (Rp)

% 1 Bulan

% Ytd

Solusi Tunas Pratama

SUPR

14800

14.73

260.98

Centratama Telekomunikasi Indonesia

CENT

320

4.58

125.35

Tower Bersama Infrastructure

TBIG

2860

-4.35

75.46

Sarana Menara Nusantara

TOWR

1180

-10.61

22.92

Bali Towerindo Sentra

BALI

745

2.05

-6.88

Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI) | Harga Terakhir per 26 Oktober 2021

Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas kinerja saham emiten penyedia menara telekomunikasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam sebulan dan sejak awal tahun (year to date/ytd).

SUPR

Menurut data di atas, saham SUPR memiliki rapor paling moncer di antara yang lainnya. Dalam sebulan belakangan saham ini melesat 14,73%, sedangkan secara ytd meroket 260,98%.

Sebenarnya, saham SUPR tergolong saham yang cenderung 'tidur'. Contoh saja, dalam 4 hari terakhir saham ini tak bergerak dengan nilai transaksi antara 20-100 jutaan rupiah. Namun, lompatan harga yang luar biasa dimulai pada awal September 2021 di tengah kabar soal TOWR yang akan mencaplok SUPR.

Semenjak itu, saham SUPR cenderung bergerak naik hingga ke harga Rp 14.800/saham, tertinggi di antara saham emiten menara lainnya.

CENT

Di bawah SUPR, ada saham milik Grup Northstar CENT yang terkerek 4,58% dalam sebulan dan 'terbang' 125,35% sejak awal tahun ini.

Saham CENT memang cenderung menguat sejak awal tahun hingga akhirnya menyentuh level Rp 410/saham atau tertinggi sepanjang masa pada 9 Agustus 2021. Setelah itu, saham CENT sempat turun hingga level Rp 272/saham pada 5 Oktober 2021 dan mencoba kembali naik hingga ke harga terakhir pada Selasa (26/10) di Rp 320/saham.

Kenaikan harga saham CENT pada tahun ini salah satunya ditopang kabar akuisisi CENT oleh perusahaan asal Singapura EP ID Holdings Pte. Ltd alias Edge Point.

Pada awal Juli lalu resmi menjadi pengendali baru CENT setelah menambah kepemilikan saham menjadi lebih dari 76% dengan nilai transaksi akuisisi saham adalah senilai Rp 2,04 triliun.

Setelah akuisisi tersebut, Edge Point memutuskan untuk melakukan tender offer untuk membeli 2,57 miliar saham CENT. Jumlah tersebut setara dengan 8,25% dari total saham Centratama. Jika seluruh pemegang saham publik ikut serta, maka nilai transaksi tender offer ini bisa mencapai Rp 692,15 miliar.

Penawaran yang dilaksanakan Edge Point ini sedang berlangsung dan sudah berakhir pada Rabu pekan lalu, 20 Oktober 2021.

TBIG

Kemudian, saham Grup Saratoga TBIG yang kendati ambles 4,53% dalam sebulan, melambung 75,46% secara ytd.

Sejak awal tahun ini, saham TBIG cenderung mendaki dari level Rp 1.700-an/saham hingga sempat menyentuh level Rp 3.400/saham pada awal Juli lalu. Namun, setelah itu saham TBIG cenderung melorot hingga ke Rp 2.860/saham penutupan pasar Selasa kemarin.

Kabar terbaru, TBIG berencana menerbitkan surat utang dalam denominasi dolar atau Notes dengan jumlah pokok sebanyak-banyaknya US$ 900 juta atau sekitar Rp 12,82 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.250 per US$.

Terkait aksi korporasi ini, manajemen TBIG telah mendapatkan restu pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Kamis, 30 September 2021 di The Convergence Indonesia, Kawasan Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan.

Dana hasil penerbitan notes akan digunakan oleh perseroan untuk disalurkan kepada kelompok entitas anak, melalui pinjaman antarperusahaan dan/atau penyertaan modal.

Tujuannya, untuk melakukan pelunasan kewajiban utang yang jatuh tempo dan pembayaran dipercepat atas pinjaman, di mana perjanjian-perjanjian pinjaman tersebut tidak melarang adanya pembayaran dipercepat atau membiayai rencana ekspansi usaha di masa yang akan datang dan menunjang kebutuhan pendanaan perseroan dan entitas anak.

TOWR

Selanjutnya, saham TOWR yang anjlok 10,61% dalam sebulan terakhir, tetapi melesat 22,92% sejak awal tahun ini.

Memulai tahun di level Rp 970/saham, saham TOWR sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa pada 26 Juli 2021 di harga Rp 1.590/saham. Setelah menyentuh level tertinggi tersebut, saham TOWR cenderung 'menuruni bukit' hingga ke harga Rp 1.180/saham.

Sebelumnya, seperti yang telah disinggung di atas, TOWR telah resmi mengakuisisi 94,03% saham SUPR dengan nilai transaksi Rp 16,73 triliun.

Transaksi tersebut dilakukan pada 1 Oktober 2021 yang dilakukan melalui anak usaha TOWR, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dengan harga pelaksanaan Rp 15.640 per saham, harga premium di atas harga tertinggi September lalu Rp 14.000/saham.

Dalam penjelasannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen TOWR menyampaikan, latar belakang dilakukannya transaksi pengambilalihan di antaranya adalah untuk pengembangan usaha Protelindo serta perluasan jaringan usaha agar dapat memperkuat posisi Protelindo sebagai pemilik dan operator tower independen dalam rangka melayani operator telekomunikasi Indonesia.

Transaksi pengambilalihan ini akan memperkuat posisi Protelindo sebagai perusahaan tower independen terbesar di Indonesia dengan lebih dari 28.300 tower dan hampir 53.000 tenant dan rasio tenancy mendekati 1,9 kali.

Saat ini, TOWR sedang dalam proses untuk melakukan penawaran tender wajib di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah Protelindo mengakuisisi 94,03% saham SUPR.

NEXT: Prospek IPO Mitratel

Seperti yang telah sedikit disebut di atas, Mitratel akan melakukan IPO dengan menawarkan 25.540.000.000 saham atau sebanyak-banyaknya 29,85% dari modal yang ditempatkan dan disetor perusahaan setelah penawaran umum.

Berdasarkan prospektus yang dirilis perusahaan, saham ini ditawarkan dengan kisaran harga Rp 775-Rp 975/saham.

Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh dana senilai Rp 19,79 triliun hingga Rp 24,90 triliun dari penawaran umum ini.

Kabar IPO Mitratel sebenarnya sudah laba berembus dan sudah lama ditunggu oleh publik, mengingat ini menjadi IPO perusahaan BUMN pertama dalam 8 tahun terakhir.

Sebelumnya emiten BUMN yang terakhir kali menawarkan sahamnya kepada publik adalah PT Semen Baturaja (Persero) Tbk (SMBR) pada tahun 2013 silam.

Jika Mitratel berhasil meraih dana IPO maksimal Rp 25 triliun, maka akan mengalahkan dana IPO emiten e-commerce PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang melantai pada 6 Agustus lalu dengan raihan dana Rp 22 triliun--saat itu terbesar dalam sejarah pasar modal.

Saat ini, saham perusahaan dipegang PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) sebesar 99,99% dan PT Metra Digital Investama 0,01%. Setelah IPO Telkom akan memegang 70,15%, Metra Digital 0,00%, investor publik 29,82% dan ESA 0,03%.

ESA adalah Program Kepemilikan Saham Pegawai Perseroan (Employee Stock Allocation).

Manajemen Mitratel menyatakan, dana hasil penawaran umum ini sebanyak 44% akan digunakan untuk belanja modal organik seperti penambahan kolokasi melalui penguatan dan penambahan menara telekomunikasi, pembangunan menara baru dan penambahan site baru, dan ekspansi ke teknologi dan layanan yang dapat bersinergi dengan bisnis penyewaan menara.

Lalu sebesar 56% akan digunakan untuk belanja modal anorganik, yakni untuk mengakuisisi menara telekomunikasi dari operator telekomunikasi dan akuisisi strategis produk, teknologi, dan layanan baru yang bersinergi dengan bisnis penyewaan menara.

Nah, pihak Mitratel menyebutkan, perusahaan berencana mengakuisisi 6.000 menara baru pasca-IPO, baik dengan membeli menara Telkomsel--yang terafiliasi dengan Grup Telkom--maupun konsolidasi dengan perusahaan telekomunikasi lainnya di Tanah Air.

Sisanya, akan digunakan untuk kebutuhan modal kerja dan kebutuhan lainnya seperti peningkatan sistem teknologi informasi dan penerapan program pengembangan yang berkualitas untuk menara telekomunikasi.

Manajemen perusahaan pengelola lebih dari 28 ribu menara ini juga menyebutkan, perusahaan berencana melakukan ekspansi bisnis ke Asia Tenggara setelah pelaksanaan IPO.

Direktur Utama Mitratel, Theodorus Ardi Hartoko mengungkapkan, ekspansi ke Asia Tenggara ini dilakukan sebagai strategi jangka menengah dan jangka panjang perseroan.

"Sejalan dengan visi dan misi untuk menjadi leader infrastruktur di Asia Tenggara, Mitratel siap melakukan ekspansi jangka panjang dan menengah untuk ekspansi ke Asia Tenggara maupun Asia Pasifik," kata Theodorus, dalam paparan publik perseroan, Selasa (26/10/2021).

Hingga 30 Juni 2021 lalu, perusahaan membukukan laba tahun berjalan senilai Rp 700,7 miliar. Nilai ini meningkat signifikan dari laba di periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 153,7 miliar atau terjadi pertumbuhan 355,88% secara tahunan (year on year/YoY).

Sedangkan dari pos pendapatan di periode yang sama tercatat pendapatan perusahaan senilai Rp 3,22 triliun, naik dari Rp 2,90 triliun akhir Juni 2020 lalu atau tumbuh 10,94% YoY.

Tercatat nilai aset perusahaan mencapai Rp 23,25 triliun, terdiri dari aset lancar sebesar Rp 3,61 triliun dan aset tidak lancar senilai Rp 26,64 triliun.

Perusahaan memiliki nilai liabilitas sebesar Rp 18,57 triliun, dengan liabilitas jangka pendek Rp 7,11 triliun dan jangka panjang senilai Rp 11,43 triliun.

Nilai ekuitas perusahaan anak usaha Telkom ini mencapai Rp 13,68 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular